Kematian di Mata Bocah 5 Tahun

Friday, October 7, 2016

Sebelum Amay tidur tadi, kami terlibat sebuah pembicaraan serius. Saya katakan serius karena yang kami bicarakan adalah perihal kematian. Sebelum ini, sebenarnya kami juga pernah berdiskusi tentang “mati”, yang bermula setelah Amay menonton sebuah film.


Waktu itu, Amay tiba-tiba bertanya, "Mama, orang Jepang itu kalau meninggal terus dibakar ya?" setelah menyaksikan film produksi Ghibli itu. Film itu bercerita tentang dua anak korban perang, yang harus rela ditinggalkan oleh ayah dan ibunya. Ayahnya yang seorang Angkatan Laut, tak jelas bagaimana nasibnya, karena ia tak pernah kembali lagi. Sang ibu, mengalami luka bakar serius, hingga akhirnya pergi. 

Pertanyaan Amay di atas terlontar, karena dia menyaksikan bahwa para korban perang yang telah tewas, dikumpulkan dalam satu tempat, kemudian dibakar. 

Setelah mendengar pertanyaannya, saya pun menjawab, "Iya, itu namanya dikremasi."

Amay melanjutkan bertanya, "Kalau nanti Mas Amay meninggal?" dan saya pun menjawab, "Kalau orang Islam, setelah meninggal ya dikubur." (Sewaktu menjawab pertanyaannya saya terus berdo'a, agar Allah berkenan memanjangkan usia kami)

"Di dalam tanah ada apa, Ma? Cacing? Kelabang? Ular?" tanyanya lagi, dan membuat saya bergidik ngeri. Duh Nak, Mama sepertinya belum siap. Mama masih banyak dosa, yang Mama buat lewat mulut, lewat jari, lewat hati, lewat mata, telinga, ahhhh... 

~~~

Dan obrolan kami malam ini, lagi-lagi juga diawali dari sebuah film. Film ini sebenarnya sudah puluhan kali kami tonton bersama, yaitu My Neighbor Totoro.

Ketika masuk di sebuah adegan, tiba-tiba Amay bertanya,

Amay: “Ma, itu Satsuki kenapa nangis?”

Saya: “Karena Satsuki takut kalau nanti ibunya meninggal.” (Ada sebuah scene dimana Satsuki amat bersedih setelah menerima telegram dari Rumah Sakit, yang mengabarkan tentang kondisi terakhir ibunya).  “Kalau nanti Mama meninggal, Mas Amay takut nggak?” tanya saya lagi.

Amay: “Takut. Mama jangan meninggal dulu.”

Saya: “Mama ‘kan nggak tau kapan meninggalnya...”

Amay: “Nanti kalau Mas Amay sudah besar, Mas Amay juga meninggal?”

-Sampai disini, jujur saya gemetar-

Saya: “Meninggal itu nggak harus menunggu besar, Mas. Mau kecil, besar, tua, muda, terserah Allah kapan mau diambil nyawanya. Makanya, setiap hari kita harus berbuat baik, buat tabungan di akhirat. Kalau kita punya salah, nggak boleh malu untuk minta maaf, karena kalau kita sudah minta maaf, insya Allah nanti Allah juga akan memaafkan. Harus sering-sering istighfar. Harus mau berbagi, menabung (saya menggunakan kata ini untuk menyebut infaq dan sedekah), shalat dan ngaji juga nggak boleh malas, karena kita nggak tau kapan kita akan meninggal.” Bla bla bla...

-Sesungguhnya saya sedang mengingatkan diri saya sendiri-

Amay: “Lha adik tadi nggak mau minta maaf koq...(sambil mukanya kelihatan sedih, teringat waktu Aga memukulnya)”

Saya: “Adik Aga ‘kan masih kecil, makanya setiap hari harus kita ajari untuk minta maaf. Mas Amay ‘kan lihat sendiri tadi, Mama nyuruh adik salim sama Mas Amay, ya’kan? Tapi karena adik masih kecil, jadi masih suka lupa, makanya yang besar-besar kayak Mas Amay, Mama, Papa, harus mengingatkan.”

Amay: “Mama, Mas Amay juga tabungannya udah banyak sekali, di masjid. Nanti boleh buat beli apa aja Ma?”

Saya: “Kata siapa banyak? Masih kuraaang...kita perlu tabungan yang buanyaaaakkk buat di akhirat nanti. Lagian tabungannya nggak bisa diambil sekarang, nggak kayak uang Mama yang di ATM. ”

Amay: “Lha kenapa?”

Saya: “Ya itu biar jadi urusan Allah aja, kita nggak usah ingat-ingat berapa tabungan kita.”

-Duh Mas, Mama aja nggak tau, tabungan kita apa cukup buat “membeli” ampunan Allah. Jangankan berpikir buat beli istana di surga, Mama justru khawatir tabungan kita nggak cukup untuk sekedar membayar dosa- 

Amay: “Tapi Mas Amay anak sholih kan?”

Saya: “Asal Mas Amay dengerin Mama, insya Allah Mas Amay jadi anak sholih. Ingat ya, Mas Amay sama adik Aga itu tabungan Mama.”

Lalu Amay mengangguk. Semoga dia paham.





Read More

Karya Perdana Amay yang Muncul di Majalah

Wednesday, September 21, 2016

Hari Jum'at 16 September 2016 kemarin, ustadzah Rohmah mengabari bahwa beliau menemukan sebuah gambar yang dibuat oleh Amay, di dalam sebuah majalah. Wah, terkejut kami dibuatnya.

Sebenarnya gambar itu adalah gambar yang kami kirimkan April lalu, untuk sebuah lomba yang diadakan majalah itu. Tapi, keberuntungan memang belum berpihak pada Amay. Ia belum menang. Memang, gambar-gambar para juara bagus-bagus semua, dan Amay harus berlatih lagi agar bisa menghasilkan karya yang rapi dan lebih kreatif lagi.

Tak apa-apa ya, Nak, kompetisi mengajarkanmu untuk legowo. Papa dan Mama pun sering mengikuti lomba, dan jarang menang juga. Hehe... Maka dari itu, jangan pernah sombong dengan apa yang kamu ketahui atau apa yang kamu miliki, karena disana -di luar sana- banyak sekali orang-orang hebat yang selalu rendah hati. :)

gambar buatan Amay di Majalah

Gambar itu bercerita tentang pengalaman naik pesawat terbang untuk pertama kali. Waktu itu Maret 2016, kami sekeluarga pergi ke Makassar untuk menjenguk Aki dan Nin. Awalnya Amay takut membayangkan rasanya naik pesawat terbang. Tapi setelah pesawat Garuda Indonesia yang kami tumpangi mulai lepas landas, dia begitu excited. "Mama, kita terbang!" ucapnya dengan mata berbinar.

Sepanjang perjalanan dia berceloteh ria. "Itu pulau Ma... Waa..awannya putih-putih." dan lain sebagainya. Ia juga mengamati apa saja yang ia lihat di bandara. Ia jadi tahu bahwa sebelum terbang, pesawat akan diisi bahan bakar terlebih dahulu. 

Ya, seperti yang terlihat di gambar buatannya itu. Ada mobil Pertamina (ia menulis pertaminal). Ia juga menggambar Mama (memakai jilbab), Papa, juga adik Aga. 

Keep drawing, my little boy. Tuangkan imajinasimu dalam karya-karya indahmu. :)
Read More

Ket, Kucing Kecil yang Sedang Bersedih

Tuesday, September 6, 2016


Hari ini Ket tampak murung. Ia tak seceria biasanya. Teman-teman Ket menjadi heran karenanya. Pipit, seekor burung kecil, terbang mendekatinya. “Ket, apa kamu sakit? Kenapa diam saja?” tanyanya. Ket hanya menjawab dengan gelengan. Tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Cici, seekor kelinci kecil yang baik hati, ikut pula menghampiri Ket.
“Hai Pipit, hai Ket. Kalian sedang apa?”
“Aku sedang bertamu ke rumah Ket dan kulihat dia sedang murung. Tapi saat kutanya apa dia sedang sakit, dia hanya menggeleng.” Jawab Pipit.


Iput, seekor tupai yang mendengar percakapan mereka kemudian berkata, “Ket memang tidak sakit. Ia hanya sedang bersedih.”
“Dari mana kamu tahu?” tanya Cici sambil mengunyah wortelnya.
“Aku tadi melihatnya menangis.” Jawab Iput.
“Mengapa kamu menangis, Ket? Apakah ada masalah? Ceritakanlah pada kami, siapa tahu kami bisa membantumu.” Bujuk Pipit.
“Ibuku pergi.” Kata Ket singkat. Ia lalu menundukkan kepala.



“Tapi ibumu pergi untuk mencari makan, Ket. Untukmu juga. Kalau ibumu tidak makan, air susunya tak akan keluar. Kamu tak bisa menyusu nantinya. Yakinlah, ibumu tak lama lagi pulang. Tadi kudengar ibumu berkata seperti itu, bukan?” Iput berusaha menghibur.
“Iya Ket, kamu sabar ya… Kami disini akan menemanimu hingga ibumu kembali.” Cici juga berusaha menghibur kucing kecil itu.
“Kamu tahu, Ket? Dulu saat aku belum bisa terbang, ibuku selalu pergi meninggalkanku untuk mencari makanan, dan setelah ia dapatkan makanan itu, ibu menyuapiku.” Cerita Pipit. “Tapi aku tidak menangis, karena aku tahu ibu akan kembali.”
“Betul kata Pipit, Ket. Nanti kalau kamu sudah besar, pasti ibumu akan mengajakmu mencari makanan.” Ujar Cici menasehati.
“Tersenyumlah, Ket.” Bujuk Pipit. Ket pun tersenyum.



“Hai lihat! Siapa disana?” teriak Iput.
“Ibu!!!” Ket berlari menuju ibunya.
“Kau menangis, Ket? Matamu berair.” Tanya ibu dan dijawab Ket dengan tersipu malu.
”Tadi aku memang menangis, Bu. Tapi teman-teman datang menghibur dan menemaniku.” Kata Ket sambil memandang ke arah Pipit, Cici, dan Iput.
“Sudah mengucapkan terima kasih pada teman-temanmu?” Tanya ibu.
“Oh, aku sampai lupa. Terima kasih teman-teman,” kata Ket sambil tersenyum.
“Sama-sama Ket,” Iput, Pipit, dan Cici menjawab serempak.



Kini Ket tak bersedih lagi. Ia akan mencari teman-temannya jika ibu pergi mencari makan dan menyuruhnya tetap tinggal.
~-~





Read More

Ketika Amay Bisa Menulis

Wednesday, June 15, 2016

Amay saat membaca gambar

Saya dan suami memiliki hobi membaca. Selera kami memang berbeda. Saya lebih suka dengan novel-novel mengharu biru khas gadis-gadis manja, sedang suami kurang suka dengan bacaan saya yang dianggapnya terlalu menye-menye.

Ya biar lah ya, namanya juga selera. Toh pada akhirnya, saya juga melahap buku-buku yang dia punya. :)

Kebiasaan membaca (dan numpang membaca) ini, rupanya menurun pada Amay. Dia senang sekali jika kami mengajaknya memasuki toko buku. Lihat saja gayanya membaca buku di foto paling atas. Saat itu usianya menginjak 3 tahun dan belum kenal huruf. Tapi, meski hanya dengan membaca gambarnya saja, ia terlihat khusyuk menghabiskan satu buku dari depan hingga akhir.


Amay, 2 Maret 2014
Ini memang jadi kebiasaan. Saat "mencari" buku inilah, kami biasanya sekaligus menumpang baca buku. Meski pada akhirnya kami hanya membeli 1-2 buku saja, tapi setidaknya sambil berjongkok (bahkan dengan sengaja duduk  di lantai berdua), saya berhasil membacakan sekitar 5 judul buku untuknya. Penghematan, 'kan ya? :D

Hobi Amay membaca (gambar), dan hobinya menodong Mama untuk mendongeng, juga didukung dengan hobinya menggambar, membuat rasa ingin bisa membaca dan menulisnya semakin besar.

Saya jadi ingat seorang anak didik saya di Bogor dulu. Hobinya menggambar, dan itu memudahkannya saat belajar menulis. Kemampuan menulisnya berkembang lebih cepat dibanding kemampuan membacanya. Ini karena dia lebih suka mendengarkan ceita daripada membacanya sendiri. Tapi untungnya, karena terbiasa menggambar dan menulis, kemampuan membacanya pun lama-lama terasah.

surat cinta dari Amay

Saya sebenarnya hampir tidak pernah mengajak Amay untuk "belajar". Belajar disini dalam arti, mengkhususkan waktu untuk menulis atau membaca, di usianya yang baru genap lima tahun ini. Kemampuan menulis dan membaca Amay, murni karena besarnya rasa keingin-tahuannya. 

Saya bahkan takjub, terheran-heran, terkejut lalu bengong, atau entah apalah istilahnya, begitu tau Amay bisa menulis. 

Iya, suatu hari, dia memberi saya wadah berwarna hijau ini (ini sebenarnya mainan yang diperolehnya dari sebuah resto. sebuah permainan sepak bola gitu deh..). Ia menyodorkan benda ini sambil berkata, "Mama, ini surat untuk Mama. Nanti dibaca yaa..." 

Saya pun membuka benda itu, lalu saya baca sebuah potongan kertas di dalamnya. Isi "surat" itu menceritakan tentang kucing yang tiba-tiba muncul di rumah kami sehari setelah kepulangan kami dari Makassar, Maret lalu. Hehe..


surat cinta dari Amay
Setelah bisa membaca dan menulis, Amay tidak bisa diam saat melihat kertas dan alat tulis. Meski bentuk kertasnya sedemikian rupa, asalkan masih ada tempat untuk menuangkan idenya, ia akan menuliskan sesuatu disana. Seperti "curhatannya" di atas itu. Eh, itu curhatan, atau semacam "rindu' pengakuan ya? Haha.. :v

Jadi, belajar membaca di usia dini, menurut saya sah-sah saja. Asaaalll, kita tidak merampas haknya untuk bisa menikmati masa kecil dengan suka cita. Jangan bikin stress anak kecil, ya... :D

Read More

Menggambar "Dunia"

Dunia, by Amay

Amay, membuat sebuah gambar pada 31 Mei 2015, pukul 22:52

Kali ini, dia sudah bisa memberi judul untuk hasil karyanya. Ketika ditanya apa yang sedang dia gambar, jawabnya, "Ini dunia."

Hihi, ada-ada saja. Memang, di gambar itu ia membuat apa-apa saja yang bisa kita lihat di dunia; ada kereta api, burung, bunga, pelangi, pohon dengan buahnya, awan-awan, mobil, matahari, rumah dengan cerobong asapnya, dan orang (manusia).

Lalu saya berkata padanya, "Terus menggambar ya, sayang. Mama menunggu karya-karyamu selanjutnya."
Read More

Menggambar Rumah Kuning

karya Amay

1 Mei 2015, Amay membuat sebuah gambar di atas kertas. Katanya, ini adalah "rumah kuning", istilah yang dipakainya untuk menyebut rumah yang kami tinggali saat ini.

Di dalam gambar itu, ada pesawat, karena kebetulan rumah kami berada tak jauh dari bandara Adi Sumarmo, Solo, sehingga sering dilintasi pesawat latih.

Secara detail, Amay juga menggambar taman depan rumah, gerbang perumahan lengkap dengan pak satpamnya, antena tv tetangga, torn bergambar penguin, dan saya yang sedang memasak di dapur. 

Keep drawing, my dear, Amay. :)
Read More

Puasa Pertama Amay

Monday, June 6, 2016

Amay dan Aga sehari jelang puasa

Hari ini adalah hari pertama di bulan Ramadhan. Amay sudah berumur 5 tahun dan sebentar lagi naik ke kelas TK B. Maka dari itu, Mama dan Papa mengajak Amay berlatih puasa.
"Nanti Mas Amay boleh buka puasa pas adzan dzuhur. Oke?" kata Mama.
"Oke!" jawab Amay, semangat.
Pagi tadi, Amay sudah makan sahur. Mama dan Papa membangunkannya, meskipun ia terlihat enggan. Tapi, alhamdulillah, meski nasi yang diambilkan Mama tak habis dimakannya, setidaknya Mas Amay punya cadangan energi untuk sehari ini. :)
Setelah sahur, Mas Amay pergi ke masjid bersama Papa untuk melaksanakan shalat Shubuh berjamaah. Kalau biasanya setelah shubuh orang-orang melanjutkan tidur, tidak demikian dengan Mas Amay. Mas Amay, Dik Aga dan Papa berjalan-jalan sebentar, menikmati udara pagi yang segar.
Seperti tak lelah, Mas Amay berlarian pulang ke rumah. Mama mengingatkan, "Jangan lari-lari lho, nanti haus. Mas Amay kan puasa, ngga boleh makan dan minum."
"Iya..." jawab Mas Amay.
Godaan pertama datang waktu Nesyer, teman mainnya di rumah, datang sambil memakan choklat yang juga merupakan kesukaan Amay.
Tapi saat itu Amay berusaha menghibur dirinya sendiri, "Aku ngga suka choki-choki koq, aku sukanya susu boboiboy." katanya pada Nesyer. Hihi...lucu. Mama tau, itu usaha Mas Amay agar tidak tergoda, ya 'kan? :D
Dan ketika adzan dzuhur berkumandang, Mas Amay segera memanggil Mama.
"Ma, sudah adzan lho..."
"Ya...Mas Amay boleh makan dan minum." kata Mama.
Amay pun segera mengambil teh manis sisa sahur tadi, yang Mama taruh di dalam kulkas. Ia pun segera menyantap pisang, melon, dan beberapa potong biskuit.
"Kalau sudah, minum putih, lalu lanjut puasa lagi sampai maghrib ya," kata Mama.
Amay menjawab, "Ya..."
Tapiii..jam baru setengah 2 ketika tiba-tiba Amay merengek, "Ma, haus..."
Dengan sedikit negosiasi akhirnya Mas Amay kembali bisa menahan keinginan untuk minum.
Mama menyuruhnya tidur agar waktu terasa cepat. Apalagi sejak sahur tadi dia belum tidur sama sekali. Tapi apa jawaban Amay? "Mas Amay ngga bisa tidur koq. Mas Amay banyak pekerjaan ni lhoo.."
Pekerjaan yang dia maksud adalah membuat kamera dari kertas lipat. Hihi..ada-ada saja. Maklum, sehari sebelumnya, Mama mengajarinya membuat kamera, dan ia bisa. Seperti orang-orang kebanyakan, yang jika baru bisa melakukan sesuatu maka cenderung mengulang-ulang, Amay pun begitu.
Alhamdulillah, yang dinanti datang juga. Adzan maghrib terdengar dari masjid Nurul Huda. Amay pun segera membatalkan puasa pertamanya. Besok puasa lagi ya, Nak... :*
Read More