Mengasah Initiative dan Empathy

Sunday, March 30, 2014

Initiative dalam Bahasa Inggris berarti: The power or ability to begin or to follow through energetically with a plan or task; enterprise and determination. Artinya kurang lebih adalah kekuatan atau kemampuan untuk memulai atau untuk menindaklanjuti sesuatu dengan penuh semangat dan tekad.

Yang perlu digarisbawahi disini, kemampuan untuk memulai itu dilandasi dengan semangat dan tekad, yang tidak akan ditemui apabila seseorang melakukannya dengan paksaan atau perintah. Jadi, inisiatif berarti tindakan yang dilakukan dengan kesadaran dan kemauan pelakunya.

Initiative, menjadi salah satu unsur penilaian di rapor anak-anak ketika saya mengajar dulu. Initiative dinilai lebih pada rasa, bukan akademik. Mengajarkan anak-anak untuk memiliki initiative sejak dini sangatlah penting. Tujuannya tentu untuk membentuk mereka agar lebih peka dan peduli dengan keadaan sekitar. Initiative memang erat kaitannya dengan kepedulian sosial. Lihat diluar sana, tingkat kepedulian manusia terhadap manusia lainnya, terhadap lingkungan, juga terhadap tumbuhan dan hewan, sudah hampir binasa.

Mengajarkan anak-anak untuk memiliki initiative, juga merupakan bagian dari mengasah Empathy. Menurut Wikipedia lagi, Empati adalah kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain.

Bayangkan jika sejak dini kemampuan berempati dan berinisiatif tidak diasah, maka yang akan timbul adalah generasi-generasi yang cuek, tidak peka terhadap keadaan sekitar, dan tidak mandiri karena selalu mengandalkan oang lain. Namun, bila semua orang tua mengajarkan anak-anaknya untuk memiliki kedua sifat mulia itu, dunia yang aman, damai, tentram, bukan hanya ada di khayalan. 

Ada sebuah pengalaman yang sampai sekarang saya ingat, yaitu ketika Amay, anak sulung saya, tiba-tiba menangis saat menonton film Free Willy. Ketika Willy si paus dilepaskan kembali ke laut, itu adalah sebuah scene yang paling mengharukan. Tidak salah apabila kita ikut terhanyut dalam alur cerita, bukan? Karena ini berarti empati kita masih berfungsi dengan baik.


Free Willy
 
Tak hanya film Free Willy yang membuat Amay menangis, film lainnya yaitu The Good Dinosaur dan The Grave of Fireflies juga berhasil membuatnya sesenggukan. Memang, dari sebuah film kita bisa belajar banyak hal. Termasuk belajar untuk berempati.

Lalu bagaimana cara lain untuk mengasah initiative dan empathy?


1. Perkenalkan Inisiatif dan Empati Melalui Perilaku
Cara terbaik untuk mengubah orang lain adalah dengan mengubah diri sendiri.
Anak akan meniru apa yang dilihatnya, bukan? Maka, cara terbaik untuk mengasah inisiatif dan empati mereka, adalah dengan memberikan contoh yang baik dalam kehidupan sehari-hari.



2. Berikan Kesempatan pada Anak untuk Melakukan Sesuatu

Memberi kesempatan pada anak untuk melakukan sesuatu, secara tidak langsung akan membuatnya belajar bertanggung jawab. Selain itu, anak-anak juga akan lebih memiliki rasa percaya diri. Terlalu sering melarang mereka, justru akan membentuk mereka menjadi pribadi yang penakut, pemalas, dan tidak percaya diri.



3. Biasakan untuk Mengungkapkan Perasaan

Katakan pada anak-anak, tidak masalah jika ingin marah, bersedih atau merasa kecewa. Namun, katakan juga bahwa emosi yang berlebihan dan berkepanjangan justru dapat mendatangkan bencana. Dari sini, kelak mereka akan belajar untuk menghargai perasaan orang lain juga.



4. Selalu Hargai Usaha Anak

Menghargai setiap usaha anak adalah suatu hal yang amat sederhana, tapi sangat penting untuk perkembangan emosionalnya. Sebaliknya, menghina atau meremehkan usaha mereka, adalah salah satu contoh kekeliruan dalam komunikasi. Efeknya tidak main-main lho, Ma!

Baca ini yaa : Pengaruh Verbal Bullying terhadap Masa Depan Korban



5. Tetap Konsisten

Yang paling sulit dari semuanya ini adalah konsisten. Iya, semua hal baik membutuhkan keistiqomahan untuk menjadikannya gaya hidup.

Semoga kita bisa istiqomah dalam memberikan teladan yang baik untuk putra-putri kita ya, Ma... Aaamiin YRA.



Read More

Antara Guru TK Hingga Menggambar

Sunday, March 2, 2014

Saya adalah seorang mantan guru TK, hehe.. Saya mengajar dari tahun 2007 hingga 2010. Tapi saya tidak seperti kebanyakan guru TK yang kreatif. Saya hanya mengajar dengan cinta, tak lebih. 

Menjadi guru TK bukan pekerjaan mudah, karena guru TK dituntut serba bisa. Ya mesti bisa nyanyi, bisa nari, bisa nggambar, bisa acting (saat role playing), kreatif membuat mainan dari barang bekas (making art), bisa masak, dan yang penting gak boleh jijik. Yang terakhir ini, misalnya ketika ada anak yang BAB, BAK, atau muntah. Kalo jijik, mending jangan jadi guru TK yaa...karena hari-harinya akan sering ketemu yang begitu. :)

Bisa nari dan bisa nyanyi, udah pasti karena kerjaan anak-anak TK kan cuma itu. Seharusnya, selebihnya mereka main sendiri. Oya, tentang menari, saya pernah lho dengan partner (Bu Neneng waktu itu) mengantarkan anak-anak menjadi juara 1 lomba menari di kecamatan, hehe..(sombong dikit). Acting juga bisa lah dikit-dikit. 

Tapii...menggambar, ini kelemahan saya. Bahkan saat wawancara, ketika melamar di Happy Bee, Ms Budi owner preschool itu bilang, "waa..Ms Arin nggak suka nggambar ya?" gitu, iihhh...malunya. Syukurnya, Alhamdulillah, dulu saya mengajar berdua dengan partner di kelas. Jadi urusan menggambar bisa diwakilkan, hehe, sampai-sampai seorang partner (Ms Novi) hafal dengan kebiasaan saya yang selalu bilang, "Arin nggunting aja yah." :p

Tapi, sejak punya Amay, semuanya berubah. Terlebih ketika dia sudah mulai senang menggambar. Saya dimintanya menggambar apapun yang dia mau. Parahnya, dia tidak mau diwakilkan. "Hmm...Amaaayy...papamu itu pinter nggambar!!" gerutu saya waktu itu. Tapi demi tak mendengar tangisannya yang bikin pusing kepala (lebay), ya sudahlah, akhirnya saya gambarkan karakter-karakter yang dia minta, sebisa saya. Yah, meski dengan itu saya harus berusaha menulikan telinga ketika suami bilang ini itu tentang "karya saya". :D

Tapi suami saya baik koq. Akhirnya beliau mengajari saya menggambar gajah, kuda, dll, sebelum "ilmu" menggambar binatang-binatang itu saya praktekkan di depan Amay. Alhamdulillah sii, sekarang tangan saya sudah mulai lentur, walaupun hasil gambaran saya belum bisa dibilang bagus. Minimal, Amay ngerti lah apa yang saya gambar. :p

Alhamdulillahnya lagi, sekarang Amay nggak sesering dulu minta saya gambarkan. Dia sudah bisa menuangkan isi kepalanya sedikit demi sedikit. Rupanya, bakatnya ini menurun dari papanya. Untung saja yaa...soalnya kalau laki-laki nggak bisa nggambar tuh kurang keren. Eh, ini sih pendapat saya pribadi lho, nggak boleh ada yang protes, hehe..

Karena hobi menggambar Amay, kami pun memutuskan untuk membelikannya kertas 1 rim, supaya tak perlu repot-repot membeli buku gambar setiap hari. Anak ini, kalau kertas di buku gambarnya belum habis, belum akan menghentikan kegiatan menggambarnya. :)

Ini hasil karya Amay dari waktu ke waktu, yang berhasil diabadikan:

gambar Amay, 2th 6bln, "Buaya makan ikan"

gambar Amay, 2th 6bln, "Gorila, spongebob dan balon"

gambar Amay 2th, 7bln, "Spongebob, perahu dan matahari"

gambar Amay, 2th 8bln, "Ular dan kupu-kupu"

gambar Amay, 2th, 11bln, "Buaya dan burung hantu"

Saya selalu ingat tips Ms Budi (owner preschool tempat saya mengajar) supaya anak pandai menggambar, yaitu, "Jangan diberi penghapus". Penghapus membuat anak-anak tidak percaya diri dengan tangannya. Itu yang saya terapkan pada Amay, dan ia selalu percaya diri walaupun menggambar dengan pulpen sekalipun.

Read More

Paman Octo, Si Seram Suka Sampah

Sunday, December 22, 2013

Di sebuah belantara laut, tinggallah seekor gurita berwarna merah bernama Paman Octo. Di mata Ubit si ikan badut dan kawan-kawannya, Paman Octo terkenal galak dan tak ramah. Karenanya, mereka takut untuk menyapa apabila bertemu dengannya. Saat pulang sekolah pun, mereka sengaja mengambil jalan lain, asalkan tidak melewati rumahnya. Pernah suatu hari Ubit dan kawan-kawan dimarahi oleh Paman Octo ketika bermain di halaman rumahnya.
“Pergi kalian! Jangan main di depan rumahku! Kalian hanya bisa mengotori halamanku saja.” Teriakan Paman Octo saat itu terngiang-ngiang di benak Ubit.

Suatu hari, Ubit dan kawan-kawan diminta Pak Guru untuk mengantar surat kepada Paman Octo. “Ubit, tolong antarkan surat ini ke rumah Paman Octo ya. Sekolah kita akan mengadakan kegiatan yang melibatkan Paman Octo sebagai pembimbing.”
“Baik, Pak.” Jawab Ubit. Ia membalikkan badan ke arah kawan-kawannya dengan lunglai, bingung harus bagaimana. Biasanya ia melakukan perintah Pak Guru dengan senang hati, tapi kali ini berbeda. Ia tak mungkin membantah perintah itu, tapi tak mungkin juga menemui Paman Octo di rumahnya. Ia takut kena marah lagi.
Mereka pun berunding. Mika si ikan kakap berpendapat, “Sudah, kita hadapi saja. Kalau Paman Octo marah kita langsung kabur.” Ubit dan yang lainnya mengangguk.
“Tapi lebih bagus lagi kalau kita meminta maaf terlebih dulu atas kejadian beberapa waktu yang lalu itu.” Sahut Tina si ikan tuna.
“Loh, kenapa kita yang minta maaf duluan? Kan belum tentu kita yang salah.” Mika ini agak ngeyel rupanya.
“Siapa tahu kita memang salah, tapi kita tidak tahu letak kesalahan kita dimana.” Tina kembali menjelaskan.
“Oke deh kalau begitu.” Mika akhirnya setuju.
“Kalau begitu, ayo kita ke rumah Paman Octo sekarang!” ajak Ubit.

Tok tok tok… Ubit mengetuk pintu perlahan.
Tok tok tok… Diulanginya lagi untuk kedua kali. Sesaat kemudian terdengar suara dari dalam.
“Siapa?” Tanya suara itu. Ubit gemetar. Suara itu adalah suara Paman Octo.
“S s s saya Ubit, Paman. Mau mengantar surat dari Pak Guru.”
Paman Ubit membuka pintunya lalu menyilakan Ubit dan kawan-kawannya masuk. Ubit segera menyerahkan surat yang ia maksud. “Ini Paman, titipan dari Pak Guru.” Paman Octo membukanya. “Kata beliau, Paman Octo akan menjadi pembimbing di kegiatan sekolah, betulkah itu?” Tanya Ubit memberanikan diri.
Paman Octo memandang ke arahnya, diam. Beliau menyamankan posisi duduknya lalu menjawab, “Iya. Kemarin Pak Guru sudah menemui Paman dan membicaraan hal ini.”
“Oya Paman, sebelumnya kami ingin meminta maaf atas kejadian beberapa waktu lalu ketika kami bermain di halaman rumah Paman.” Ucap Tina. Ia memang bisa diandalkan untuk urusan ini. Sikapnya yang santun membuat Paman Octo tak terlihat galak lagi.
“Iya, Paman maafkan. Ini juga yang nanti akan Paman sampaikan di sekolah kalian.” Paman Octo berlalu mengambil sebuah kantong plastik. Ubit dan kawan-kawannya penasaran tentang isi kantong itu.
“Kalian tahu tidak mengapa saat itu Paman marah pada kalian?” Semua menggeleng. Paman Octo mulai mengeluarkan semua isi kantong plastik itu, dan itu membuat mereka tercengang.
“Ahhh.. Iya Paman. Kami sekarang sudah tahu letak kesalahan kami.” Ujar Mika sambil menepuk jidatnya.
Paman Octo tersenyum. “Kalian tahu? Setiap hari Paman memunguti sampah-sampah ini. Paman membaginya menjadi dua jenis. Sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik paman taruh di sebuah wadah untuk dijadikan makanan bagi teman-teman kecil kita yang lainnya, contohnya udang. Sampah anorganik seperti kaleng minuman ini Paman olah lagi menjadi sesuatu yang bermanfaat.”
“Untung ada Paman Octo ya.” Ucap Ubit sambil berbinar.
“Tapi Paman tidak bisa sendirian. Paman membutuhkan bantuan dari kalian. Kalian lihat, sampah semakin hari semakin tidak terkendali jumlahnya. Ajaklah teman-temanmu untuk mencintai laut kita, tempat hidup kita. Mintalah mereka agar tidak membuang sampah sembarangan. Kalian tentu tidak mau meminum air yang kotor dan berbau, bukan?”
Ubit dan kawan-kawan mengangguk setuju. “Siap Paman!” mereka serentak berteriak semangat.
“Bagus!” Paman Octo tersenyum lebar.
“Ternyata Paman Octo tidak seseram yang kita bayangkan ya?” Tina berseloroh. Semua tertawa.

Tibalah hari yang dinantikan. Paman Octo datang ke sekolah dengan membawa beberapa perlengkapan. Ubit dan kawan-kawan menyambutnya dan membantunya membawa perlengkapan itu.
Paman Octo membagi banyak sekali ilmu dan pengetahuan yang ia punya dalam kegiatan ini. “Anak-anak, ini adalah beberapa benda yang Paman buat dari kaleng minuman. Ada celengan, kotak surat, tempat pensil, mobil-mobilan dan sebagainya. Jadi mulai saat ini, jangan membuang sampah di sembarang tempat ya… Mari kita jaga laut kita agar tetap bersih, supaya air yang kita minum juga menyehatkan tubuh kita. Setuju?”
“Setuju!!” semua murid kompak menjawab.
Di akhir acara, Paman Octo berterima kasih pada Ubit dan kawan-kawan yang telah membantunya. Beliau mengangkat mereka sebagai “Prajurit Pecinta Kebersihan".
Read More

Belajar Menjadi Orang Tua

Friday, August 30, 2013


Beberapa waktu lalu saya menyaksikan film India berjudul "Taare Zameen Par". Sebenarnya, film itu sudah cukup lama dirilis, yaitu tepatnya pada tanggal 21 Desember 2007. Namun saya baru mengetahui ada film sebagus itu setelah diskusi dengan beberapa teman tentang film-film yang menarik dan bermanfaat untuk ditonton.


taare zameen par

Diperankan oleh Aamir Khan sebagai Ram Shankar Nikumbh dan Darsheel Safary sebagai Ishaan Awasthi, film ini bercerita tentang seorang anak (Ishaan) yang dianggap bodoh oleh orang tua, bahkan oleh guru-gurunya juga. Anak itu hampir kehilangan semangat dan rasa percaya diri karena setiap hari yang ia dengar hanyalah umpatan dan kutukan "tak becus" dari orang-orang di sekelilingnya. Pandangan matanya seolah berteriak minta tolong, seolah dengan kata-kata saja tak cukup untuk mengeluarkan isi hatinya. Tak ada yang mau mendengar jeritan hatinya. Ia adalah seorang anak yang menderita dyslexia. Di usianya yang ke 9 ia belum bisa membedakan huruf-huruf yang hampir sama, seperti b dan d. Ia juga sering terbalik dalam menuliskan beberapa huruf dan angka. Memang, penderita dyslexia kebanyakan memiliki ketidakmampuan dalam belajar yang disebabkan oleh kesulitan dalam melakukan aktivitas membaca dan menulis. Namun begitu, Ishaan memiliki kemampuan yang luar biasa dalam hal melukis. Sebuah bakat yang tak dianggap bermanfaat oleh kebanyakan orang.

Inspiratif sekali. Film ini mengajarkan kita bagaimana menghadapi anak yang tak biasa, juga mengingatkan kita bahwa tak ada anak yang bodoh. Yang ada hanyalah anak dengan kemampuan yang berbeda, karena cepat atau lambat mereka pasti bisa menguasai apa yang telah dan sedang mereka pelajari. Dan yang harus digarisbawahi, kecerdasan itu tak melulu bicara soal matematika, fisika, atau kimia.

Pesan moral yang saya tangkap adalah, memaksa anak untuk menjadi seperti ambisi kita, lebih buruk daripada menyuruh mereka menjadi seorang kuli. Memaksa anak untuk bisa menguasai segalanya, menuntut untuk bisa selalu menjadi juara, justru akan membuatnya benci pada ilmu yang seharusnya ia pelajari dengan senang hati.

Setiap anak dilahirkan unik. Mereka punya impian dan kemampuannya sendiri, dan kewajiban kita adalah menghormati pilihan mereka supaya jiwa mereka berkembang dengan baik. 


Dari film itu juga saya dapatkan pelajaran baru, kisah tentang penduduk Pulau Solomon (yang baru saya tahu), apabila mereka ingin membuka lahan baru untuk bercocok tanam, mereka tak perlu repot-repot menebangi pohon. Yang mereka lakukan adalah mengelilingi lahan itu sambil mengumpat dan mengutukinya, dan ajaibnya beberapa hari kemudian pohon-pohon disana akan berubah layu, siap untuk dijadikan lahan bercocok tanam yang baru. Mahmud Mahdi Al-Istanbuli menuliskan dalam buku Parenting Guide, "Jagalah anak, jangan sampai anak tersugesti__baik sengaja maupun tidak__dengan pikiran dan perbuatan yang dapat melemahkan kepribadian anak." 

Poin yang terpenting adalah bahwa setiap perkataan adalah do'a. Saya pernah membaca sebuah kisah tentang seorang ibu yang pandai mengelola amarah. Ceritanya, suatu hari sang ibu sedang menyiapkan jamuan makan untuk tamunya. Tiba-tiba datang anaknya yang mungil, dengan segenggam debu di tangannya. Ia menaburkan debu itu ke atas makanan yang sedang disajikan. Sang ibu marah dan berkata, "idzhab ja'alakallahu imaaman lilharamain," (Jadilah kamu imam di masjidil haram!!)

Dan Subhanallah, kini anak itu telah dewasa dan telah menjadi imam masjidil haram. Siapakah anak kecil tadi? Beliau adalah Syeikh Abdurrahman as-Sudais.

Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari kisah ini, aamiin.

Wallahu a'lam bishshowab.
Read More