Petasan

Tuesday, May 23, 2017

Bulan Ramadhan belum juga datang, tapi bunyi petasan sudah terdengar bahkan sejak berminggu yang lalu. Bunyinya yang menggelegar, terus terang saja sangat mengganggu saya. Kadang kaget mendengar suara kerasnya yang muncul tiba-tiba, kadang juga ada rasa takut saat melihat sekumpulan anak membawa petasan-petasan yang siap diledakkan. Saya takut, anak-anak itu iseng menyalakannya tepat saat saya melewati mereka.

Yah, anak-anak seperti itu kan senang kalau ada orang lain yang dikagetkan. Rasanya mungkin sangat memuaskan. Saya sangat benci dengan benda ini, dan jadi sebal dengan mereka yang menyalakannya hanya demi kepuasan pribadi, tanpa peduli keselamatan orang lain, bahkan keselamatan diri sendiri.

petasan. foto diambil dari Regional Kompas.


**
Suatu hari, segerombolan anak itu menyalakan petasan di dekat rumah. Sekelompok di sebelah utara, dan kelompok lainnya di selatan. Mereka menyalakannya bergantian. Setelah petasan dari utara berdentum, kelompok selatan menyalakan bagian mereka. Begitu terus hingga beberapa kali.

Saya sempat minta Papa Amay untuk keluar dan menasehati anak-anak itu, tapi karena mereka sudah berhenti menyalakannya, jadi Papa Amay mengurungkan niatnya.

Entah, apa yang dipikirkan anak-anak itu, dan bagaimana orang tua mereka menyikapinya. Apakah mereka mengijinkan uang jajan yang mereka berikan digunakan untuk membeli petasan? Atau memang sengaja memberi uang untuk ini? Biar rame gitu... 

Persetan dengan mereka yang membiarkan anaknya bermain petasan dengan alasan supaya anaknya senang. Hellooow, emang nggak ada cara lain untuk bersenang-senang? Saya sih menganggap orang yang main petasan sama dengan orang yang nggak bisa menahan nafsu. “Yang penting bahagia” kata mereka, tapi mereka menghalalkan segala cara untuk bisa bahagia. Mereka masa bodoh dengan orang lain yang keberisikan, yang terganggu dengan suara jedar-jeder yang bikin jantungan.

Selain saya, tentu saja ada orang lain yang terganggu. Tepat di belakang rumah saya, ada bayi berusia 2 bulan yang saat itu menangis keras. Mungkin karena terkejut. Amay saat itu langsung berkomentar, “Itu adiknya kaget ya, Ma?” Saya mengangguk. Yah, meski bayi punya banyak alasan untuk menangis, tapi bisa jadi dia menangis karena terkejut dengan bunyi petasan kan?

Saya pun mulai bediskusi dengan Amay. Saya pikir, ini saat yang tepat untuk mengajaknya berpikir, kemudian memilih dan membedakan mana yang baik dan benar, dan mana yang salah.

“Menurut Mas Amay, orang yang main petasan itu gimana sih?” tanya saya.

“Ya mengganggu. Main petasan kan bikin kaget.” Jawabnya.

“Nah, itu! Mas Amay tahu nggak, kalau orang yang suka mengganggu tetangganya itu nggak akan masuk surga? Mereka dengan tangannya, membuat tetangganya merasa tidak nyaman. Ada bayi sampe nangis. Coba kalau ada yang sakit jantung, lalu meninggal karena kaget, gimana?” Wah, Emak ngoceh panjang kali lebar. Emosiiih.

Saya mengatakan itu bukan tanpa dasar. Ada sebuah hadits shahih yang berbunyi: "Seorang yang senantiasa mengganggu tetangganya niscaya tidak akan masuk surga." --> Lihat As Silsilah Ash Shahihah 549: [Muslim: 1-Kitabul Iman, hal. 73]

“Yang kedua. Main petasan itu mubadzir. Udah bikin kaget, uangnya dibakar untuk hal yang sia-sia dan nggak ada manfaatnya. Mending uangnya buat yang lain yang lebih bermanfaat, ya kan?” Tambah saya.



“Yang ketiga. Main petasan itu bahaya. Nggak cuma bahaya untuk diri sendiri tapi juga bisa membahayakan orang lain.” Kata saya. Saya lalu menceritakan kisah seorang saudara saya di Purworejo, yang harus kehilangan telapak tangannya karena petasan. Ini asli, bukan cerita bohong. Saat itu saya masih SD. Pulang sekolah, ibu cerita kalau baru pulang dari rumah sakit, menjenguk saudara saya itu. Umurnya nggak jauh beda dengan saya. Ibu bilang, tangan kanannya harus dipotong, dan saat ibu saya menjenguknya, dia sedang berlatih menulis dengan tangan kiri.
Ya, seperti itulah.

“Trus Ma, yang keempat apa?” tanya Amay.

Mama menjawab, "Udah cukup tiga aja! Pokoknya main petasan nggak ada gunanya."


Read More

Amay Membuat Miniatur Rumah Adat Bersama Papa

Thursday, April 20, 2017

Seminggu yang lalu, ada surat pemberitahuan dari sekolah, bahwa seluruh siswa wajib membuat miniatur rumah adat untuk dilombakan pada tanggal 21 April. Jum'at, 21 April ini bertepatan dengan puncak tema "Tanah Airku", dan rumah adat hasil karya kerjasama antara orang tua dan anak itu, wajib dikumpulkan sehari sebelumnya.

Sejak menerima surat itu, Papa Amay mulai memikirkan, rumah adat daerah mana yang akan dibuatnya. Mama mengusulkan, rumah Honai saja, yang unik. Tapi setelah Papa menunjukkan beberapa rumah adat, Amay memutuskan untuk membuat rumah Bolon. Rumah Bolon adalah rumah adat Suku Batak yang berasal dari Sumatera Utara.

Iya, Rumah Bolon ini adalah rumah pilihan Amay sendiri. Papa Amay tinggal membantu membuatkan konsepnya, dan mengerjakan hal-hal yang belum bisa Amay lakukan sendiri, seperti memotong kertas yellow board.

Kerjasama pun dimulai. Sementara Papa mengelem kertas yellow board menjadi dinding-dinding rumah, Amay menggunting kertas kokoru yang akan dipakai untuk atap. Kertasnya warna-warni, supaya cerah ceria, hihihi... Lagipula, genting atau atap tidak harus coklat kan? Terserah Amay saja, gimana bagusnya. Hehehe...

Amay pun menggambar kerbau dan orang dengan pakaian adat Batak Toba, dan Papa kemudian menempelkannya sebagai ornamen yang menggambarkan skala dan proporsi. Kenapa kerbau? Karena kerbau adalah binatang yang paling banyak dipelihara oleh masyarakat Batak disana. 

Dan ini adalah proes pembuatan miniatur rumah Bolon tersebut. Amay and Papa, you did a great job!









Read More

Tentang Q.S. Al-Ghosyiyah

Sunday, December 4, 2016

Besok Mas Amay akan menghadapi EAS atau Evaluasi Akhir Semester. Jadwalnya adalah, menghafal Surah Al- Ghasyiyah, dan beberapa tes lainnya seperti melengkapi huruf pada kata.

Sebenarnya saya bukan tipe ibu yang menuntut anaknya bisa ini itu. Toh tujuan awal menyekolahkan Amay adalah agar ia pandai bersosialisasi. Kebetulan juga saat itu Amay mulai jenuh di rumah, karena perhatian saya lebih banyak untuk Aga yang kala itu masih bayi.

Tapi kali ini, karena saya pun berkeinginan untuk menghafal Surah Al-Ghasyiyah itu (iya, setua ini, saya belum hafal juz 30, hiks), saya pun mengajak Mas Amay menghafal bersama-sama. Jika sebelum-sebelumnya kami hanya muroja'ah sebelum tidur (karena surah-surah sebelumnya insya Allah sudah saya hafal), kali ini saya mulai dari awal. 

Saya yang tipe visual, dan akan mengingat jika sudah kembali menuliskan ulang, pun menulis ulang surah itu. Untuk saya, mendengar murotalnya saja tak cukup. Amay juga sepertinya begitu. Dia lebih mudah menghafal beberapa ayat sekaligus, melalui tulisan tangan saya di kertas. Alhamdulillah, Amay sudah iqro' 5, jadi sedikit-sedikit sudah bisa membaca Al-Qur'an.

Hafalan pun dimulai. Dua hari ini, saya dan Amay baru hafal sekitar 16 ayat, padahal surah Al Ghasyiyah terdiri dari 26 ayat. Perkara besok Amay belum lulus hafalan ini, tak jadi masalah untuk saya. Yang penting, insya Allah mulai saat ini, saya akan rutin menghafal surah di juz 30 bersama-sama Amay. Kita berjuang bersama-sama, ya, Mas.. ☺

Q.S Al-Ghasyiyah dari https://www.youtube.com/watch?v=_41rBOEtqSo

Dan ketika membaca arti dari surah yang kami hafalkan ini, mata saya berair. Apalagi ketika membaca arti dari ayat 1 hingga 7. Ya Allah, rasanya hamba tak akan sanggup jika Engkau tempatkan hamba di neraka-Mu. Mohon jauhkan tempat itu dari hamba, Ya Rabb... Meski untuk mencium surga pun hamba sungguh tak layak. Sangat tak layak.

Inilah arti Surah Al-Ghasyiyah yang menggetarkan hati saya:
1. Sudahkah sampai kepadamu berita tentang hari Kiamat?
2. Pada hari itu banyak wajah yang tertunduk terhina, 
3. (karena) bekerja keras lagi kepayahan,
4. mereka memasuki api yang sangat panas (neraka),
5. diberi minum dari sumber mata air yang sangat panas.
6. Tidak ada makanan bagi mereka selain dari pohon yang berduri,
7. yang tidak menggemukkan dan tidak menghilangkan lapar.
8. Pada hari itu banyak (pula) wajah yang berseri-seri,
9. merasa senang karena usahanya (sendiri),
10. (mereka) dalam surga yang tinggi,
11. disana (kamu) tidak mendengar perkataan yang tidak berguna.
12. Disana ada mata air yang mengalir.
13. Disana ada dipan-dipan yang ditinggikan,
14. dan gelas-gelas yang tersedia (di dekatnya),
15. dan bantal-bantal sandaran yang tersusun,
16. dan permadani-permadani yang terhampar.
17. Maka tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana diciptakan?
18. Dan langit, bagaimana ditinggikan?
19. Dan gunung-gunung bagaimana ditegakkan?
20. Dan bumi bagaimana dihamparkan?
21. Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah pemberi peringatan.
22. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka,
23. kecuali (jika ada) orang yang berpaling dan kafir,
24. maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang besar.
25. Sungguh, kepada Kamilah mereka kembali,
26. kemudian sesungguhnya (kewajiban) Kamilah membuat perhitungan atas mereka.


Read More

[Dongeng] Antar Aku Pulang

Wednesday, October 19, 2016

Hallooo, sudah tanggal 19. BloggerKAH datang lagi nih... Kali ini kami menguji diri sendiri dengan mencoba membuat sebuah cerpen anak. Baru belajar, jadi kalau kurang bagus jangan dibully yaa... Bikin cernak itu ngga mudah lho! Hayo siapa kemarin yang bilang kalau bikin cernak itu guampiiil? Woh...cobaen sana!

Bikin cernak itu harus memperhatikan tata bahasa, kira-kira target pembacanya usia berapa. Jangan sampai, cernak untuk anak balita, bahasanya seperti untuk anak SD, misalnya. Ini sih, kata cikgu-cikgu saya yaa... Selain itu, harus ada pesan moral atau nasihat yang bisa diambil. Nah ini, saya terkadang menggunakan cerita fiksi untuk menyampaikan sesuatu pada Amay. Dan biasanya Amay akan lebih mengingatnya dibanding ketika saya "berceramah".

Oke, ngga usah panjang lebar lagi, teman-teman bisa baca cerita Mommy Han aka Rani R Tyas disini
Cerita Mommy K, aka Mbak Widut, disini
Dan blogger tamu kita, Mbak Irawati Hamid, disini

Please, enjoy our story :) 




ilustrasi cerpen "Antar Aku Pulang" by Yopie Herdiansyah


Antar Aku Pulang


Di sebuah ladang, tampak ibu kelinci dan anaknya sedang memanen wortel. Obit, nama anak kelinci itu, terlihat sangat gembira.

“Ibu, nanti aku mau makan yang ini, ini, dan juga yang ini!” Mata Obit berbinar, sementara jarinya sibuk menunjuk wortel yang berukuran besar.
“Boleh.” Kata ibu. “ Tapi, bantu ibu memasukkan wortel-wortel ini ke keranjang ya...”
“Siap!” Ia kemudian melakukan seperti yang diperintahkan ibunya. 
“Nah, sudah selesai.” Ujarnya girang, saat ia berhasil menyelesaikan tugasnya.
“Wah, pintar! Terima kasih, sayang. Ibu akan mencuci wortel-wortel ini di sungai.” kata ibu.
“Mmm...sekarang, aku boleh main?” tanya Obit.
Ibu  mengijinkan, tetapi dengan satu syarat. “Jangan lama-lama ya, sebentar lagi malam datang.”
“Baik, Bu.” Obit pun melompat-lompat kesana kemari, sambil bernyanyi tralala trilili.

Tiba-tiba, ia mendengar seseorang ikut bernyanyi. Rupanya, itu adalah suara seekor burung pipit.  “Hai, aku Ipit.” Sapa burung itu.
“Hai, aku Obit.” Jawab Obit sambil tersenyum.
Setelah perkenalan itu, Ipit dan Obit pun berbincang dengan riang. Sesekali mereka bernyanyi bersama. Mereka membicarakan apa saja, termasuk makanan kesukaan mereka.

“Aku suka makan biji padi. Sayangnya, pak tani sering mengusirku saat aku sedang menikmati makananku. Kalau kamu, suka makan apa?” tanya Ipit.
“Aku suka sekali makan wortel. Tadi aku baru saja memanen wortel di ladang. Sekarang ibuku sedang mencuci wortel-wortel itu di sungai.” 
Tiba-tiba Obit teringat sesuatu, “Ibu!” 
Obit lupa pada pesan ibu. Ia kini kebingungan karena siang telah berganti malam. “Aduh, bagaimana ini? Aku harus pulang, tapi hari sudah gelap.” Obit pun menangis.

Ipit merasa bersalah. Karena dia, kawan barunya ini jadi pulang terlambat. “Tenanglah, Obit. Aku coba cari bantuan dulu, ya...” Ipit lalu mencicit, memanggil kawan-kawannya.
Tak lama kemudian, sekumpulan cahaya datang. Obit terkejut, tak mengira bahwa kawan-kawan Ipit itu adalah sekelompok kunang-kunang. Terbukti bahwa Ipit memang pandai bergaul. Ia punya banyak teman dari berbagai jenis binatang.
“Kawan-kawan, Obit ini kawan baruku. Ia ingin pulang, tapi hari sudah gelap. Ayo kita antarkan dia pulang!” Katanya pada gerombolan kunang-kunang itu. Mereka pun menjawab, “Dengan senang hati.”
“Baiklah, ayo kita berangkat!” ajak Ipit. “Dengan lampu alami di perut kunang-kunang, jalanan akan terlihat terang.” Kata Ipit pada Obit.

Akhirnya, Obit sampai di rumah. Ibu Obit terlihat cemas menunggu anaknya pulang. Namun, rasa cemas itu kini hilang.
“Kemana saja kamu, Nak? Ibu khawatir.”
“Maafkan Obit, Bu. Obit terlalu asik bermain sampai lupa pesan ibu.” Obit mengungkapkan penyesalannya. Ia pun berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.
“Oya, Bu, ini semua kawan baru Obit. Karena mereka Obit bisa pulang.” Obit memperkenalkan burung pipit dan kunang-kunang yang telah mengantarnya.
“Oh... Terima kasih ya Nak, karena kalian telah membantu Obit.” Kata ibu Obit.
“Sama-sama, Bu.” Ipit dan kunang-kunang menjawab serempak.



~-~


Read More

Kematian di Mata Bocah 5 Tahun

Friday, October 7, 2016

Sebelum Amay tidur tadi, kami terlibat sebuah pembicaraan serius. Saya katakan serius karena yang kami bicarakan adalah perihal kematian. Sebelum ini, sebenarnya kami juga pernah berdiskusi tentang “mati”, yang bermula setelah Amay menonton sebuah film.


Waktu itu, Amay tiba-tiba bertanya, "Mama, orang Jepang itu kalau meninggal terus dibakar ya?" setelah menyaksikan film produksi Ghibli itu. Film itu bercerita tentang dua anak korban perang, yang harus rela ditinggalkan oleh ayah dan ibunya. Ayahnya yang seorang Angkatan Laut, tak jelas bagaimana nasibnya, karena ia tak pernah kembali lagi. Sang ibu, mengalami luka bakar serius, hingga akhirnya pergi. 

Pertanyaan Amay di atas terlontar, karena dia menyaksikan bahwa para korban perang yang telah tewas, dikumpulkan dalam satu tempat, kemudian dibakar. 

Setelah mendengar pertanyaannya, saya pun menjawab, "Iya, itu namanya dikremasi."

Amay melanjutkan bertanya, "Kalau nanti Mas Amay meninggal?" dan saya pun menjawab, "Kalau orang Islam, setelah meninggal ya dikubur." (Sewaktu menjawab pertanyaannya saya terus berdo'a, agar Allah berkenan memanjangkan usia kami)

"Di dalam tanah ada apa, Ma? Cacing? Kelabang? Ular?" tanyanya lagi, dan membuat saya bergidik ngeri. Duh Nak, Mama sepertinya belum siap. Mama masih banyak dosa, yang Mama buat lewat mulut, lewat jari, lewat hati, lewat mata, telinga, ahhhh... 

~~~

Dan obrolan kami malam ini, lagi-lagi juga diawali dari sebuah film. Film ini sebenarnya sudah puluhan kali kami tonton bersama, yaitu My Neighbor Totoro.

Ketika masuk di sebuah adegan, tiba-tiba Amay bertanya,

Amay: “Ma, itu Satsuki kenapa nangis?”

Saya: “Karena Satsuki takut kalau nanti ibunya meninggal.” (Ada sebuah scene dimana Satsuki amat bersedih setelah menerima telegram dari Rumah Sakit, yang mengabarkan tentang kondisi terakhir ibunya).  “Kalau nanti Mama meninggal, Mas Amay takut nggak?” tanya saya lagi.

Amay: “Takut. Mama jangan meninggal dulu.”

Saya: “Mama ‘kan nggak tau kapan meninggalnya...”

Amay: “Nanti kalau Mas Amay sudah besar, Mas Amay juga meninggal?”

-Sampai disini, jujur saya gemetar-

Saya: “Meninggal itu nggak harus menunggu besar, Mas. Mau kecil, besar, tua, muda, terserah Allah kapan mau diambil nyawanya. Makanya, setiap hari kita harus berbuat baik, buat tabungan di akhirat. Kalau kita punya salah, nggak boleh malu untuk minta maaf, karena kalau kita sudah minta maaf, insya Allah nanti Allah juga akan memaafkan. Harus sering-sering istighfar. Harus mau berbagi, menabung (saya menggunakan kata ini untuk menyebut infaq dan sedekah), shalat dan ngaji juga nggak boleh malas, karena kita nggak tau kapan kita akan meninggal.” Bla bla bla...

-Sesungguhnya saya sedang mengingatkan diri saya sendiri-

Amay: “Lha adik tadi nggak mau minta maaf koq...(sambil mukanya kelihatan sedih, teringat waktu Aga memukulnya)”

Saya: “Adik Aga ‘kan masih kecil, makanya setiap hari harus kita ajari untuk minta maaf. Mas Amay ‘kan lihat sendiri tadi, Mama nyuruh adik salim sama Mas Amay, ya’kan? Tapi karena adik masih kecil, jadi masih suka lupa, makanya yang besar-besar kayak Mas Amay, Mama, Papa, harus mengingatkan.”

Amay: “Mama, Mas Amay juga tabungannya udah banyak sekali, di masjid. Nanti boleh buat beli apa aja Ma?”

Saya: “Kata siapa banyak? Masih kuraaang...kita perlu tabungan yang buanyaaaakkk buat di akhirat nanti. Lagian tabungannya nggak bisa diambil sekarang, nggak kayak uang Mama yang di ATM. ”

Amay: “Lha kenapa?”

Saya: “Ya itu biar jadi urusan Allah aja, kita nggak usah ingat-ingat berapa tabungan kita.”

-Duh Mas, Mama aja nggak tau, tabungan kita apa cukup buat “membeli” ampunan Allah. Jangankan berpikir buat beli istana di surga, Mama justru khawatir tabungan kita nggak cukup untuk sekedar membayar dosa- 

Amay: “Tapi Mas Amay anak sholih kan?”

Saya: “Asal Mas Amay dengerin Mama, insya Allah Mas Amay jadi anak sholih. Ingat ya, Mas Amay sama adik Aga itu tabungan Mama.”

Lalu Amay mengangguk. Semoga dia paham.





Read More