Di sekolah, selain diajarkan untuk tak meninggalkan sholat 5 waktu, anak-anak juga dibiasakan untuk melaksanakan sholat dhuha. Bahkan, ada buku laporan kegiatan semacam Buku Ramadhan juga untuk diisi selama masa Belajar di Rumah. Ya, meski saya suka lupa mengisinya sih. Sing penting sholat, ngaji, gitu wae wis.
Nah, karena anaknya saja rajin sholat dhuha (memang pada awalnya terpaksa, hanya untuk mengisi buku kegiatan saja), sebagai emak saya jadi merasa berdosa kalau ngga sholat dhuha juga. Saya mengaku, dulu, saya sholat dhuha pas sempat aja. Atau, mendadak rajin pas ada maunya. Astaghfirullah. 😢
Padahal, saya tahu kok, hikmah sholat dhuha itu apa saja. Salah satunya seperti di dalam hadist yang diriwayatkan At-Thabrani.
"Barangsiapa yang shalat dhuha dua rakaat, maka dia ditulis sebagai orang yang tak lalai. Barangsiapa yang mengerjakannya sebanyak empat rakaat, maka dia ditulis sebagai orang yang ahli ibadah. Barangsiapa yang mengerjakannya enam rakaat, maka ia diselamatkan di hari itu. Barangsiapa mengerjakannya delapan rakaat, maka Allah tulis dia sebagai orang yang taat. Dan barangsiapa yang mengerjakannya dua belas rakaat, maka Allah akan membangun sebuah rumah di surga untuknya."
Hidayah memang bisa datang lewat jalur mana saja, yaa... Termasuk lewat anak-anak. Saya, ayahnya anak-anak juga, kini jadi rajin menjalankannya. Jika dulu kami dhuha saat butuh saja, sekarang karena eman-eman / sayang bila sampai melewatkannya.
Omong-omong, sebelum pada menghakimi, masa ibadah aja harus dipamerin, saya mau klarifikasi dulu. Saya menulis ini bukan untuk riya', insya Allah, melainkan untuk mengingatkan diri sendiri, bahwa sebagai orang tua, kita ngga boleh jarkoni alias "bisa ngajar, ora bisa nglakoni". Bahasa kerennya, omdo - omong doang.
Saya teringat seorang sahabat, sebut saja Mama Hadfy, suatu hari menulis status di WhatsApp yang intinya kurang lebih begini: Mengharapkan anak menjadi hafidz Qur'an sementara ibunya sendiri ngga pernah baca Al-Qur'an, adalah sebuah mitos.
Masuk akal kan... Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Ingin anak menjadi orang baik, tentu saja orang tuanya harus memberi contoh yang baik juga. Ingin anaknya rajin dhuha, orang tuanya harus rajin juga. Jangan cuma bisa nyuruh-nyuruh doang. Inilah yang saya lakukan kemudian. Berawal dari rasa "malu dan ngga enak" sama anak, lama-lama jadi sebuah kebiasaan. Semoga kami semua istiqomah, aamiin aamiin YRA.
Oh iya, saya jadi teringat dengan seorang sahabat semasa SMP. Siti Badriyah namanya. Siti Badriyah yang ini tak pandai menyanyi. Siti Badriyah yang ini adalah seorang hafidzah. Anak-anaknya, Mbak Alya dan Mas Yusrin, sedang menuju ke arah sana dengan bimbingan sang ibunda. Masya Allah.
Suatu hari, Badriyah, begitu saya memanggilnya, menunjukkan nikmatnya menjadi penghafal Al-Qur'an. Ketika anak-anaknya muroja'ah hafalan, ia bisa menyimak sambil beberes, memasak atau mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya. Jadi, jika terdengar ada yang salah, ia bisa langsung "mbengok" alias teriak sambil membetulkan hafalan anaknya. Tentu saja teriaknya Badriyah berbeda dengan teriakan Mama Kepiting, yaa.. 😂
Saya ingin bisa seperti itu juga. Apa saya sudah hafal Al-Qur'an? Beluuuummmm... Tapi saya berusaha untuk menghafal apa yang anak-anak saya hafalkan. Biar apa? Biar ngga jarkoni dong.
Ditulis dengan Cinta,
Mama
Post a Comment