Suatu hari di sebuah kerajaan, seorang Raja tengah menikmati santapannya di meja makan. Namun, sejurus kemudian dilihatnya seekor semut sedang berjalan sambil membawa remahan makanannya. Sesungguhnya ia tidak berkenan dengan perbuatan semut yang telah mengambil makanannya secara diam-diam itu. Namun, Raja adalah seorang yang bijaksana. Alih-alih marah, beliau malah menyapa si semut.
"Hai, semut." Sapa Sang Raja.
Semut yang terkejut, menjawab sapaan Raja dengan terbata-bata, "Pa ... Pa ... Paduka Raja."
"Apa yang sedang kamu bawa?" tanya Raja.
"Ampun, Paduka. Hamba telah lancang mengambil makanan Paduka." jawab semut.
"Kenapa kamu mengambil makananku?"
"Ampun, Paduka. Hamba sudah berkeliling mencari makanan, tetapi hamba tidak menemukan apa-apa, sehingga hamba terpaksa mengambil makanan Paduka di meja." jawab semut lagi.
Raja yang mendengar pengakuan semut kemudian merasa iba, "Kasihan sekali semut ini," ujarnya dalam hati. Beliau juga menilai bahwa si semut memiliki sopan santun serta sifat yang jujur. Raja pun segera mencari cara agar semut tak lagi kekurangan makanan tanpa harus mengganggu kegiatan makannya di meja makan.
Raja kemudian bertanya kembali pada semut, "Semut, berapa banyak makanan yang kamu butuhkan dalam satu tahun?"
Semut menjawab, "Sepotong roti, Paduka."
"Kalau begitu, maukah kau kuberi sepotong roti untuk kebutuhan makanmu selama setahun, tetapi selama itu pula kau harus tinggal di dalam sebuah bejana?"
"Hamba bersedia, Paduka." Jawab semut, patuh.
Raja pun mengambil sebuah bejana, kemudian menaruh sepotong roti di dalamnya. "Apakah ini cukup, semut?"
"Lebih dari cukup, Paduka." Jawab semut lagi. Ah, semut memang sangat pandai bersyukur.
Setelah itu, Raja memasukkan semut ke dalam bejana tersebut, kemudian menutupnya. Sebelumnya, Raja berjanji pada semut bahwa beliau akan datang kembali satu tahun yang akan datang. Kini, semut telah berada bersama rezekinya selama satu tahun.
Dongeng Semut yang Pandai Berhemat
Satu tahun kemudian, Raja menepati janjinya. Beliau membuka tutup bejana untuk memeriksa keadaan semut. Namun, betapa terkejutnya beliau ketika melihat semut masih menyisakan separuh potongan roti. Beliau kemudian bertanya pada semut,
"Semut, mengapa kamu masih menyisakan rotimu? Bukankah dulu kamu bilang kamu membutuhkan sepotong roti untuk satu tahun?"
Semut menjawab, "Ampun, Paduka, selama satu tahun ini hamba memang hanya memakan separuh potong roti. Separuhnya lagi hamba sisakan untuk berjaga-jaga seandainya Paduka lupa membuka tutup bejana ini."
Raja takjub mendengar penjelasan semut. Lihat, semut saja pandai berhemat, pandai mengatur kebutuhan hidup. Manusia seharusnya bisa meneladani sikap semut dalam mengelola rezeki dari Yang Maha Kaya.
Pesan untuk Mas dan Adek:
Rezeki dari Allah selalu cukup untuk hidup, tapi tak akan pernah cukup untuk menuruti gaya hidup. Hidup itu murah, gengsilah yang membuatnya mahal.
Kalau sampai itu terjadi, tentu alhamdulillah sekali. Sebagai orang tua, pastinya kita punya mimpi besar untuk anak-anak kita, kan? Kita ingin agar mereka menjadi anak yang pintar dan cerdas sehingga mereka dapat mencapai apa yang mereka cita-citakan.
Dari artikel yang saya baca, untuk memiliki anak-anak yang cerdas ternyata kita tak perlu mengeluarkan banyak uang, lho. Hayo, adakah yang sempat terpikir untuk memasukkan anak-anak ke bimbingan belajar yang mahal? Atau memenuhi waktu mereka dengan seabrek jadwal les di sana-sini?
No way, Ma! Kita, dengan tangan kita sendiri sesungguhnya dapat menghasilkan anak-anak yang cerdas. Asaaal, kita melakukan hal ini secara rutin. Jika kegiatan ini sudah menjadi “habitual action”, maka memiliki anak-anak yang cerdas tak lagi menjadi mimpi di siang bolong.
Apakah itu?
Jawabannya adalah mendongeng atau membacakan mereka buku.
Nah, Ma, jadikanlah kegiatan membaca ini sebagai rutinitas harian dengan anak-anak. Tak perlu terlalu lama, 10 – 15 menit sehari pun cukup. Bacakan buku untuk mereka, meski kelak mereka sudah bisa membacanya sendiri.
Mendongeng untuk Anak. Sumber Gambar: Pexels
Mengapa Harus dengan Membacakan Buku?
Mengapa harus membaca buku? Karena sebuah penelitian menunjukkan bahwa membacakan buku pada anak-anak adalah kebiasaan kuat yang akan mengantar mereka menjadi anak-anak yang cerdas dan berkarakter positif.
Menjadi orang tua memang mengikat waktu kita. Kita tahu bahwa profesi ini menuntut waktu yang tak terbatas. Tak hanya selesai setelah mengandung anak-anak selama 9 bulan atau menyusui mereka sampai 2 tahun lamanya, tetapi semua itu berlanjut. Dengan cucian yang seakan tak ada habisnya, dengan “sibling rivalry” yang seringkali mengisi hari-hari, dengan PR si kakak yang cukup banyak, dengan menu masakan yang setiap hari menuntut variasi, dan lain-lainnya.
On and on and on.
Namun, jangan jadikan kesibukan tadi sebagai alasan untuk tidak melakukan rutinitas yang baik ini ya, Ma. Because, this is what happens when you read aloud to your child every day:
1. Membacakan buku dapat meningkatkan perbendaharaan kata pada anak-anak kita.
Orang tua yang telah membacakan buku pada anak-anaknya sejak usia pra sekolah, sesungguhnya telah membantu anak-anak mereka dalam memahami pelajaran yang akan disampaikan oleh guru mereka di kelas saat sekolah nanti.
Tentu akan berbeda, jumlah kata yang dikuasai anak-anak yang sering dibacakan buku dengan yang tidak.
2. When you read aloud to your child every day, you grow your child’s brain, literally.
Semakin banyak buku yang kita bacakan, semakin banyak neuron yang tumbuh dan terhubung di otaknya.
3. Dengan membacakan buku pada anak-anak, sesungguhnya kita sedang meningkatkan kemampuannya dalam mendengarkan dan berkonsentrasi.
Dua hal ini tentu sangat penting saat mereka sekolah nanti. Membacakan buku juga dapat mengurangi kecenderungan agresif pada anak.
4. Kegiatan mendongeng yang dilakukan secara rutin, dapat membangun ikatan yang kuat antara ibu dan anak.
Sulung saya, Mas Amay, bahkan masih ingat salah satu buku kesukaannya sewaktu balita dulu. Terkadang saat saya mengeluarkan kalimat, “Sudah sampai belum?” dia langsung teringat buku kesayangannya yang berjudul sama.
5. Membacakan buku dapat meningkatkan rasa empati pada anak.
Ya, karena setiap buku mengandung cerita kehidupan yang berbeda-beda, kan? Membacakan berbagai macam buku cerita akan mengajarkannya untuk menjadi teman yang berempati, pandai melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang, dan juga menjadikannya seseorang yang penuh kasih, yang ringan tangan membantu orang lain yang membutuhkan.
Mengapa Kebiasaan Ini Sering Terlewatkan?
Sudah tahu manfaat membacakan buku bagi anak-anak, namun mengapa terkadang kita (saya khususnya), masih enggan meluangkan waktu untuk melakukannya? Nah, setidaknya ada 8 alasan mengapa kita belum terbiasa untuk mendongeng atau membacakan buku pada anak-anak. 8 alasan itu antara lain;
1. Maaf, Mama sibuk
Seperti yang sudah saya tulis di atas, terkadang cucian dan setrikaan yang menumpuk, menjadi beban yang harus segera diselesaikan. Pentingnya tumpukan pakaian itu bahkan mampu mengalahkan pentingnya menumbuhkan kedekatan dengan anak.
Ya gimana ya, mungkin sudah naluri kita bahwa segala yang berantakan harus segera dibereskan. Tapi adakah solusi untuk “menyembuhkan” perasaan sok sibuk ini?
Di NHW 6 dengan materi Ibu Manajer Keluarga Handal, mahasiswi IIP sudah diajarkan untuk “put first thing first”. Ya, jika peran kita di rumah adalah sebagai istri/ibu, maka kewajiban kita yang pertama adalah untuk hadir sepenuhnya di hadapan mereka. Bukan di hadapan cucian, hehehe...
Maka dari itu, semisal kita tidak sempat melakukannya, kita bisa mendelegasikan tugas kita ke laundry, misalnya.
Jadi sudah bisa memutuskan ya, lebih penting anak atau cucian, Ma? Hihi...
2. Anak saya sudah bisa baca sendiri kok.
Saya jadi ingin mengaku dosa. Setelah si sulung masuk SD, waktu saya dengannya menjadi semakin sedikit. Sepulang sekolah, urusan kami hanya sebatas mengulang hafalan dan mengerjakan PR. Membacakan buku menjadi sebuah kegiatan mewah, artinya, tidak setiap hari kami bisa melakukannya bersama. Padahal, semakin tinggi usia anak, ia membutuhkan bacaan yang semakin bervariasi.
“Tapi kan, dia bisa baca sendiri?”
Ya betul. Namun, keterampilan membaca dan mendengarkan mulai menyatu di sekitar kelas delapan. Sampai usia itu, anak-anak biasanya lebih banyak memahami sesuatu dari apa yang mereka dengarkan daripada yang mereka baca. Oleh karena itu, anak-anak dapat mendengar dan memahami cerita yang lebih rumit dan lebih menarik daripada apa yang dapat mereka baca sendiri.
Nah, mumpung Mas Amay masih kelas 2 SD, Mama Kepiting harus mulai merutinkan kembali kebiasaan yang hilang. Semoga Mama selalu ingat bahwa anak yang lebih besar pun masih suka dibacakan, meskipun ia tidak mengatakannya!
Membaca Buku, Sumber Gambar; Pexels
3. Saya paling males baca keras-keras
Ini penyebabnya mungkin antara dua; memang Mama tidak menyukai buku, atau karena Mama tidak suka membaca dengan keras.
Memang membaca dengan keras membutuhkan keterampilan. Apalagi jika yang dibaca adalah buku anak-anak yang ekspresif. Tapi ini kan dilakukan di rumah, Ma. Jadi nggak usah malu lah, hihi..
Lagi pula, membaca dengan keras bukanlah tentang kemampuan untuk tampil. Ini tentang hubungan atau bonding dengan anak-anak, karena kedekatan fisik dan ikatan emosional yang terlibat dalam kegiatan ini. Membaca dengan keras adalah sesuatu yang anak-anak sebut sebagai kegiatan favorit mereka untuk dilakukan dengan orang tua mereka.
Jadi, yuk mulai dari sekarang. Pilihlah buku yang paling menarik yang Mama ingin bacakan. Oya, sekalian promosi, saya juga jualan buku anak-anak lho! Xixixi...
4. Anakku nggak mau anteng
Ini saya alami sendiri. Anak pertama dan kedua saya memiliki karakter yang sangat berbeda. Si sulung lebih bisa tenang dan memiliki rentang konsentrasi yang cukup panjang, sementara si kecil tidak terlalu suka mendengarkan. Ternyata, ini berpengaruh pula pada kemampuan mereka dalam berkomunikasi.
Menyadari hal itu, saya tetap membacakan untuknya, meski kadang ia pergi meninggalkan mamanya. Hiks... Saya pun tetap mencarikan buku paling menarik, yang kira-kira akan disukainya. Dengan kebiasaan membaca keras setiap hari, ia pun belajar cara mendengarkan. Belakangan, ia meminta saya untuk membacakan buku kesayangannya.
Ingatlah bahwa ketika kita membaca dengan keras, sesungguhnya kita juga sedang meningkatkan kemampuan anak-anak untuk memperhatikan dan berkonsentrasi – keterampilan ini yang akan membantu anak-anak di sekolah dan dalam kehidupan di luar sekolah.
5. Saya lelah...
Pekerjaan sebagai ibu rumah tangga yang sekolah tak ada habisnya, terkadang menguras energi kita. Setuju kan, Ma? Efeknya, saat malam tiba kita sudah tak berdaya, dan ingin cepat-cepat tidur. Akhirnya, kegiatan membacakan buku sebelum tidur pun ditinggalkan. Lagi dan lagi.
Nah, bagaimana jika sekarang kita ubah jadwalnya? Coba lakukan kegiatan membaca ini lebih awal dari biasanya. Misalnya saat sarapan, atau saat bersantai di sore hari. Atau bisa juga saat jelang tidur siang.
6. Usia anak saya jauh berbeda
Ya, perbedaan usia anak yang cukup jauh juga bisa menjadi pemicu malasnya membaca. Mau baca untuk si sulung, adiknya ribut minta dibacakan juga, dan begitu pula sebaliknya. Hihi...
Lalu bagaimana cara mengatasinya? Bedakan jadwal membaca untuk mereka. Karena anak kedua saya belum sekolah, jadi saya biasa membaca untuknya saat si Mas pergi sekolah. Untuk si sulung, biasanya kami membaca bersama setelah sholat maghrib dan mengaji.
7. Anakku sering menyela... Di setiap halaman. Dan itu bikin males.
Tidak ada orang yang suka diganggu, memang. Termasuk saat membaca, yang sebenarnya tujuan awal kegiatan ini adalah untuk mereka. Tapi ternyata jika kita mau bersabar dan memahami mereka, sesungguhnya apa yang mereka lakukan ini adalah bagian dari proses belajar. Terlebih jika kemudian terjadi diskusi tentang buku ini. Wow!
Jadi, jika pertanyaan anak adalah tentang cerita itu sendiri, silakan jawab langsung karena mungkin saja ia tidak sepenuhnya memahami apa yang terjadi dan itulah mengapa dia bertanya. Namun jika pertanyaannya tidak berhubungan dengan isi buku yang sedang dibacakan, katakan, “Ooh, pertanyaan yang bagus. Nanti kita bahas setelah selesai baca buku ini, yaa...”
8. Baca buku yang sama berkali-kali itu membosankan
Iya, benar. :D
Namun sayangnya kita memang harus terus melakukannya, karena saat anak-anak mendengar kosakata yang sama secara berulang-ulang, hal ini akan semakin menguatkan pemahamannya terhadap kata tersebut. Jadi, bersabarlah, Ma.
Jika Mama memang sudah telanjur bosan sementara anak kita maunya buku itu-itu saja, coba singkirkan buku itu dari pandangan mereka. Selanjutnya, cari buku pengganti yang lebih menarik lagi. Bila perlu, saat membeli buku baru, ajak anak untuk memilih buku yang disukainya.
Nah Ma, mari kita sama-sama berusaha untuk konsisten membacakan buku untuk anak-anak agar mereka bisa tumbuh menjadi anak yang cerdas dan berperilaku baik. Siapa tahu, mereka bisa tumbuh menjadi secerdas Maudy Ayunda, ya kan? Aamiin. 10-15 menit sehari saja, cukup bagi mereka. Kelak, mereka akan mengingat ini sebagai pengalaman terbaik di masa kecil. Selamat memilih buku dan membacakannya untuk anak-anak, Ma!
Kebo Iwa adalah seorang Patih atau Panglima Militer yang berasal dari Bali. Badannya besar, tubuhnya tinggi. Selain menguasai ilmu perang, ia juga menguasai ilmu arsitektur. Ia membangun berbagai tempat ibadah di Bali, dan seringkali mengangkut sendiri batu-batu besar dengan kekuatan fisiknya.
Meskipun berbadan besar, Kebo Iwa tak pernah semena-mena menggunakan kekuatannya. Hatinya sangat mulia. Ia bahkan sering membantu warga yang mengalami kesulitan, misalnya dengan membuatkan sumur dengan jarinya yang sakti.
Kebo Iwa juga merupakan patih yang setia. Ia pernah berjanji pada Sang Raja, selagi ia masih bernafas, Kerajaan Bali Aga tak akan diserahkan pada kerajaan manapun.
Kebo Iwa, from balimediainfo.com
Berita tentang kesaktian Kebo Iwa pun sampai ke telinga Mahapatih Gajah Mada. Gajah Mada adalah seorang patih dari Kerajaan Majapahit yang terkenal dengan sumpahnya untuk menyatukan nusantara, yaitu Sumpah Palapa.
Gajah Mada, begitu mengetahui bahwa Kerajaan Bali Aga memiliki seorang patih yang sakti, segera mengatur siasat bersama Raja Tribuana Tungga Dewi. Mereka geram, karena kerajaan kecil itu tak juga takluk, sedangkan Kerajaan Daha yang merupakan induk dari Kerajaan Bali Aga, malah lebih dulu tunduk pada Majapahit.
Gajah Mada pun berupaya mencari cara agar bisa menaklukkan kerajaan itu. Ia mengirimkan sebuah surat yang berisi ajakan agar Kerajaan Bali Aga bersedia menjadi sekutu Kerajaan Majapahit. Kebo Iwa pun diundang untuk hadir ke Kerajaan Majapahit sebagai tanda persahabatan.
Raja Bali Aga menyambut hangat ajakan itu. Raja pun mengizinkan Kebo Iwa untuk berkunjung ke sana tanpa rasa curiga. Saat itu Kerajaan Bali Aga diperintah oleh Raja Sri Ratna Bumi Banten yang dikenal adil, bijaksana, dan dicintai oleh rakyatnya.
Sesampainya Kebo Iwa di Majapahit, Gajah Mada segera menemui tamunya tersebut. Gajah Mada berkata, "Kami sedang mengalami paceklik. Rakyat kekurangan air bersih. Untuk itu, sudikah kiranya Patih Kebo Iwa membantu membuatkan sumur?"
Kebo Iwa yang lurus hati itu pun bersedia membantu. Dengan jemarinya yang sakti, Ia mulai membuat lubang di tanah. Namun keanehan terjadi. Air tak juga muncul meskipun Kebo Iwa sudah menggali cukup dalam. Ia pun masuk ke dalam sumur buatannya untuk menggali lebih dalam lagi. Ia tak sadar bahwa sesungguhnya ada bahaya yang sedang mengintai.
Begitu Kebo Iwa masuk ke dalam sumur, Gajah Mada segera memerintahkan prajuritnya untuk menimbun Kebo Iwa dengan tanah yang telah digalinya. Kebo Iwa dikubur hidup-hidup.
Gajah Mada tersenyum, "Akhirnya, sebentar lagi Kerajaan Bali akan menjadi bagian dari nusantara," batinnya. Namun beberapa saat kemudian, tanah bergerak dan keluarlah Kebo Iwa yang ternyata masih hidup. Kebo Iwa merasa dikhianati. Ia pun bertarung dengan Gajah Mada. Akan tetapi di tengah pertarungan, ia terngiang keinginan mulia Gajah Mada yang ingin mempersatukan nusantara.
Di satu sisi ia ingin membantu Gajah Mada mewujudkan impiannya, namun di sisi lain ia juga teringat janjinya pada Raja Bali Aga bahwa Bali Aga tak akan dibiarkan jatuh ke tangan kerajaan lain selama ia masih bernyawa.
Gajah Mada Vs Kebo Iwa, from propinsibali.com
Akhirnya, Kebo Iwa memutuskan untuk membantu mewujudkan mimpi Gajah Mada dengan mengatakan bahwa serbuk kapur bisa menghapus kesaktiannya. Mendengar hal itu, Gajah Mada pun segera memukul sebongkah batu kapur. Tak berapa lama, Kebo Iwa tumbang setelah terkena serbuknya.
Ya, berkat pengorbanan Kebo Iwa, nusantara berhasil disatukan oleh Gajah Mada.
Sepertinya sudah lama sekali blog ini tidak terisi. Maklum,
mamakepiting lagi sok sibuk banget nih. Salah satunya, di awal bulan
Oktober kemarin, mamakepiting dan papabebi merealisasikan rencana kami untuk
memperbanyak buku karangan Mas Amay yang berjudul Kuro dan Peni.
Beruntung sekali Mas Amay memiliki papa yang kreatif. Cerita
Mas Amay itu dipoles sedemikian rupa sehingga menjadi buku yang enak dibaca.
Proses kreatif itu dimulai sejak bulan Juli. Mas Amay
diminta oleh papa untuk menggambar tokoh-tokoh dalam cerita yang dibuatnya. Seperti ini:
ikan pari, ikanbelang, kepe monyong dan kepiting
gambar lautnya
Kuro dan Peni
rumput laut, bintang laut, dan terumbu karang
sampah-sampah di lautan
perahu nelayan
air laut yang keruh oleh sampah
nelayan, jaring, dan petugas kebersihan pantai
suasana di tepi pantai
mobil pengangkut sampah
ubur-ubur, kuda laut, gurita, dan ikan-ikan
FYI, papa yang mewarnai gambar-gambar itu, karena Mas
Amay belum terlalu jago dalam pewarnaan. Papa juga yang me-layout-nya halaman demi halaman, hingga
tokoh-tokoh itu hadir dalam sebuah cerita yang utuh.
Sedikit cerita, sebenarnya buku ini pernah diikutkan dalam sebuah lomba membuat e-book yang diadakan Ditjen PAUD Kemdikbud.
Sayangnya, Mas Amay dan Papa belum beruntung. Namun, sedari awal Mama sudah
berniat, jikapun mereka gagal menjadi juara, Mama tetap akan mencetak buku ini
sendiri.
Dan akhirnya keinginan itu terealisasi.
Latar belakang dicetaknya buku ini adalah untuk mengumpulkan
donasi bagi korban gempa Lombok. Kami ingin mengajarkan pada Amay tentang makna
berbagi. Bahwa berbagi itu mengayakan jiwa, dan berbagi tak pernah membuat
rugi. Jadi, meski kita tak punya banyak harta, kita bisa membantu dengan tenaga
dan pikiran juga.
Alhamdulillah, berkat dukungan teman-teman semua, 56 eksemplar Kuro dan Peni sudah berpindah tangan. Dan hasil dari penjualan buku tersebut, terkumpul Rp 1.060.000,00, dan semuanya sudah kami serahkan kepada LAZIS Solo Raya, perantara yang kami tunjuk untuk menyalurkan donasi ke Lombok, Palu dan Donggala.
Memang masih ada pemesan buku ini, tapi mohon maaf, untuk donasi sudah kami tutup. Jadi, untuk pemesan berikutnya, keuntungannya jadi milik Mas Amay yaa.. ☺☺
Dan berikut rincian modal dan pendapatannya, sehingga muncul angka Rp 1.060.000,00 ya...
Ini adalah biaya cetaknya. Dengan kertas "art paper", 120 lembar A3 (kemudian dibagi 4, sehingga menjadi kertas berukuran A5) untuk 30 eksemplar, biayanya adalah Rp 315.000,00. Kami mencetak sebanyak dua kali, untuk memenuhi permintaan 60 eksemplar.
Jadi, total biaya cetak dan potong adalah Rp 630.000,-
Ini adalah biaya jilid spiral. Karena dirasa agak mahal, jadi Papabebi hanya menjilid sebanyak 15 eksemplar.
Dan alhamdulillah, ketemu juga tempat menjilid yang agak murah di dekat kampus UMS. Tulisan ini tidak bermaksud untuk menjelek-jelekkan toko pertama yaa... Masuk akal koq kalau di dekat UMS lebih murah, karena dekat kampus, otomatis persaingan lebih ketat kan... Dan kami mencari yang lebih murah dengan tujuan agar donasi untuk korban gempa bisa terkumpul lebih banyak lagi. Lumayan kan, bertambah Rp 4.000,- per eksemplarnya.
Kami juga membeli amplop untuk mengirim ke luar kota sebanyak 18 buah dengan harga @1.500. Jadi, untuk amplop, biayanya adalah Rp 27.000,00.
Jadi, total modal cetak kemarin adalah: 630.000 + 105.000 + 90.000 + 45.000 + 27.000 = Rp 897.000,00
Dan ahamdulillah, jumlah uang yang masuk adalah sebesar Rp 1.956.000,00. Jadi, jika dikurangi modal, maka keuntungannya adalah Rp 1.059.000,00. Untuk LAZIS kami genapkan menjadi Rp 1.060.000,00
Mungkin ada yang bertanya, Kuro dan Peni harganya Rp 30.000,00 tapi mengapa jumlah uang yang masuk ada Rp 1.956.000,00 padahal yang terjual adalah 56 eksemplar? Jawabannya adalah karena ada satu orang yang mentransfer 200.000, padahal yang dibeli hanya 1. Ada pula yang membayar Rp 50.000,00 untuk 1 buku. Jadi alhamdulillah ada tambahan lagi.
Alhamdulillah. Jujur, saya dan suami tak menyangka bahwa langkah kami ini mendapatkan support sehebat ini dari teman-teman semua. Terima kasih, terima kasih, terima kasih. Semoga donasi dari teman-teman bermanfaat untuk saudara-saudara kita di Lombok, Palu dan Donggala. Semoga Allah membalas semua kebaikan teman-teman yaa... Aamiin YRA.
NB: Untuk saat ini, di rumah masih ada sisa 4 eksemplar. Mohon keridhoan teman-teman ya, jika yang ada di rumah ini nanti hasil penjualannya untuk Mas Amay semua. Terima kasih. :)
Tanggal 29 Mei yang lalu, sekolah libur. Mas Amay yang sedang puasa Ramadhan, mengisi liburnya dengan main game melulu. Mama sampai capek mengingatkan.
Mama bilang, "Mas, mbok bikin apaaaa gitu lho, nggak capek apa main game terus?"
Mama ngomel sambil mencuci. Selesai mencuci, Mas Amay memberi Mama sesuatu. Ternyata itu adalah kumpulan kertas berisi cerita bergambar. Pura-puranya sih, buku.
And here we go, buku cerita karya Mas Amay.
Coba ngga usah nge-game yaa, mungkin bukunya udah banyak. Hihihi... Mama jadi ingat, dulu Mama pernah membuat mini project dengan Mas Amay.
Mama berharap, Mas Amay bisa kembali menuangkan ide-ide menjadi gambar dan tulisan, biar waktunya lebih bisa bermanfaat. Daripada main game terus kan? :)
Hallooo, sudah tanggal 19. BloggerKAH datang lagi nih... Kali ini kami menguji diri sendiri dengan mencoba membuat sebuah cerpen anak. Baru belajar, jadi kalau kurang bagus jangan dibully yaa... Bikin cernak itu ngga mudah lho! Hayo siapa kemarin yang bilang kalau bikin cernak itu guampiiil? Woh...cobaen sana! Bikin cernak itu harus memperhatikan tata bahasa, kira-kira target pembacanya usia berapa. Jangan sampai, cernak untuk anak balita, bahasanya seperti untuk anak SD, misalnya. Ini sih, kata cikgu-cikgu saya yaa... Selain itu, harus ada pesan moral atau nasihat yang bisa diambil. Nah ini, saya terkadang menggunakan cerita fiksi untuk menyampaikan sesuatu pada Amay. Dan biasanya Amay akan lebih mengingatnya dibanding ketika saya "berceramah". Oke, ngga usah panjang lebar lagi, teman-teman bisa baca cerita Mommy Han aka Rani R Tyas disini Cerita Mommy K, aka Mbak Widut, disini Dan blogger tamu kita, Mbak Irawati Hamid, disini Please, enjoy our story :)
ilustrasi cerpen "Antar Aku Pulang" by Yopie Herdiansyah
Antar Aku Pulang
Di
sebuah ladang, tampak ibu kelinci dan anaknya sedang memanen wortel. Obit, nama
anak kelinci itu, terlihat sangat gembira.
“Ibu,
nanti aku mau makan yang ini, ini, dan juga yang ini!” Mata Obit berbinar, sementara
jarinya sibuk menunjuk wortel yang berukuran besar.
“Boleh.”
Kata ibu. “ Tapi, bantu ibu memasukkan wortel-wortel ini ke keranjang ya...”
“Siap!”
Ia kemudian melakukan seperti yang diperintahkan ibunya. “Nah, sudah selesai.”
Ujarnya girang, saat ia berhasil menyelesaikan tugasnya.
“Wah,
pintar! Terima kasih, sayang. Ibu akan mencuci wortel-wortel ini di sungai.”
kata ibu.
“Mmm...sekarang,
aku boleh main?” tanya Obit.
Ibu
mengijinkan, tetapi dengan satu syarat.
“Jangan lama-lama ya, sebentar lagi malam datang.”
Tiba-tiba,
ia mendengar seseorang ikut bernyanyi. Rupanya, itu adalah suara seekor burung
pipit. “Hai, aku Ipit.” Sapa burung itu.
“Hai,
aku Obit.” Jawab Obit sambil tersenyum.
Setelah
perkenalan itu, Ipit dan Obit pun berbincang dengan riang. Sesekali mereka bernyanyi bersama. Mereka membicarakan
apa saja, termasuk makanan kesukaan mereka.
“Aku
suka makan biji padi. Sayangnya, pak tani sering mengusirku saat aku sedang
menikmati makananku. Kalau kamu, suka makan apa?” tanya Ipit.
“Aku
suka sekali makan wortel. Tadi aku baru saja memanen wortel di ladang. Sekarang
ibuku sedang mencuci wortel-wortel itu di sungai.” Tiba-tiba Obit teringat
sesuatu, “Ibu!” Obit lupa pada pesan ibu. Ia kini kebingungan karena siang telah berganti
malam. “Aduh, bagaimana ini? Aku harus pulang, tapi hari sudah gelap.” Obit pun
menangis.
Ipit
merasa bersalah. Karena dia, kawan barunya ini jadi pulang terlambat.
“Tenanglah, Obit. Aku coba cari bantuan dulu, ya...” Ipit lalu mencicit,
memanggil kawan-kawannya.
Tak
lama kemudian, sekumpulan cahaya datang. Obit terkejut, tak mengira bahwa
kawan-kawan Ipit itu adalah sekelompok kunang-kunang. Terbukti bahwa Ipit
memang pandai bergaul. Ia punya banyak teman dari berbagai jenis binatang.
“Kawan-kawan,Obit
ini kawan baruku. Ia ingin pulang, tapi hari sudah gelap. Ayo kita antarkan dia
pulang!” Katanya pada gerombolan kunang-kunang itu. Mereka pun menjawab,
“Dengan senang hati.”
“Baiklah,
ayo kita berangkat!” ajak Ipit. “Dengan lampu alami di perut kunang-kunang,
jalanan akan terlihat terang.” Kata Ipit pada Obit.
Akhirnya,
Obit sampai di rumah. Ibu Obit terlihat cemas menunggu anaknya pulang. Namun,
rasa cemas itu kini hilang.
“Kemana
saja kamu, Nak? Ibu khawatir.”
“Maafkan
Obit, Bu. Obit terlalu asik bermain sampai lupa pesan ibu.” Obit mengungkapkan
penyesalannya. Ia pun berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.
“Oya,
Bu, ini semua kawan baru Obit. Karena mereka Obit bisa pulang.” Obit memperkenalkan
burung pipit dan kunang-kunang yang telah mengantarnya.
“Oh...
Terima kasih ya Nak, karena kalian telah membantu Obit.” Kata ibu Obit.
“Sama-sama,
Bu.” Ipit dan kunang-kunang menjawab serempak.
Hari ini Ket tampak murung. Ia
tak seceria biasanya. Teman-teman Ket menjadi heran karenanya. Pipit, seekor
burung kecil, terbang mendekatinya. “Ket, apa kamu sakit? Kenapa diam saja?” tanyanya.
Ket hanya menjawab dengan gelengan. Tidak sepatah kata pun keluar dari
mulutnya.
Cici, seekor kelinci kecil yang baik hati, ikut pula menghampiri
Ket.
“Hai Pipit, hai Ket. Kalian
sedang apa?”
“Aku sedang bertamu ke rumah Ket
dan kulihat dia sedang murung. Tapi saat kutanya apa dia sedang sakit, dia
hanya menggeleng.” Jawab Pipit.
Iput, seekor tupai yang mendengar
percakapan mereka kemudian berkata, “Ket memang tidak sakit. Ia hanya sedang
bersedih.”
“Dari mana kamu tahu?” tanya Cici sambil mengunyah wortelnya.
“Aku tadi melihatnya menangis.”
Jawab Iput.
“Mengapa kamu menangis, Ket?
Apakah ada masalah? Ceritakanlah pada kami, siapa tahu kami bisa membantumu.”
Bujuk Pipit. “Ibuku pergi.” Kata Ket singkat.
Ia lalu menundukkan kepala.
“Tapi ibumu pergi untuk mencari
makan, Ket. Untukmu juga. Kalau ibumu tidak makan, air susunya tak akan keluar.
Kamu tak bisa menyusu nantinya. Yakinlah, ibumu tak lama lagi pulang. Tadi
kudengar ibumu berkata seperti itu, bukan?” Iput berusaha menghibur.
“Iya Ket, kamu sabar ya… Kami
disini akan menemanimu hingga ibumu kembali.” Cici juga berusaha menghibur
kucing kecil itu.
“Kamu tahu, Ket? Dulu saat aku
belum bisa terbang, ibuku selalu pergi meninggalkanku untuk mencari makanan,
dan setelah ia dapatkan makanan itu, ibu menyuapiku.” Cerita Pipit. “Tapi aku
tidak menangis, karena aku tahu ibu akan kembali.”
“Betul kata Pipit, Ket. Nanti
kalau kamu sudah besar, pasti ibumu akan mengajakmu mencari makanan.” Ujar Cici
menasehati.
“Tersenyumlah, Ket.” Bujuk Pipit.
Ket pun tersenyum.
“Hai lihat! Siapa disana?” teriak Iput.
“Ibu!!!” Ket berlari menuju
ibunya.
“Kau menangis, Ket? Matamu
berair.” Tanya ibu dan dijawab Ket dengan tersipu malu.
”Tadi aku memang menangis, Bu.
Tapi teman-teman datang menghibur dan menemaniku.” Kata Ket sambil memandang ke
arah Pipit, Cici, dan Iput.
“Sudah mengucapkan terima kasih
pada teman-temanmu?” Tanya ibu.
“Oh, aku sampai lupa. Terima
kasih teman-teman,” kata Ket sambil tersenyum.
“Sama-sama Ket,” Iput, Pipit, dan Cici menjawab serempak.
Kini Ket tak bersedih lagi. Ia akan
mencari teman-temannya jika ibu pergi mencari makan dan menyuruhnya tetap
tinggal.
Ini adalah cerpen yang mengantarkan saya menjadi juara harapan 2 di lomba menulis dongeng Nusantara Bertutur. Tulisan ini telah dimuat di Kompas edisi Minggu, 12 Oktober 2014.
Karena cerpen inilah kepercayaan diri saya semakin besar. Ternyata saya bisa. Sebelum ini, selalu muncul keraguan dalam diri, apakah cerita-cerita yang saya buat layak untuk dibaca orang lain? Dan inilah kali pertama saya muncul sebagai juara, meski hanya harapan, di suatu lomba. Sebelumnya tak pernah seberuntung ini. :D
Nah, barangkali ada di antara ibu atau ayah di luar sana yang juga senang membacakan cerita untuk anak-anaknya menjelang tidur. Mungkin cerita ini bisa dibacakan. Semoga bermanfaat untuk semua.
Ipung Belajar Bersyukur
Ipung
si capung, bersama sahabatnya Pupu si kupu-kupu, terbang ke sebuah taman.
“Lihat
anak-anak manusia itu, bahagia sekali ya? Mereka berlarian dengan kedua kaki
mereka.” Ujar Ipung. “Seandainya kakiku kuat seperti mereka.” Ia
berandai-andai.
“Ssst,
tidak boleh begitu. Kita juga punya kelebihan, lho. Lihat, dengan sayap ini
kita bisa terbang. Kita harus bersyukur.” Ucap Pupu bijaksana.
Tiba-tiba
seorang gadis kecil mendekati mereka dan berkata pada temannya, “Hei lihat, ada
kupu-kupu dan capung!”
Temannya
menimpali, “Wah iya, cantik sekali ya mereka? Coba kita punya sayap, kita bisa
terbang deh, seperti mereka!”
Ipung
dan Pupu yang mendengar percakapan itu saling pandang dan tersenyum. “Tuh kan,
mereka juga ingin mempunyai sayap seperti kita.” Kata Pupu, yang disambut
dengan anggukan setuju oleh Ipung.
“Lihat!
Ada yang sedang menggambar!” seru Ipung.
“Wow,
mereka sedang menggambar kita.” Pupu menimpali.
Namun
beberapa saat kemudian Ipung menunduk. “Lihatlah, mereka lebih suka menggambarmu,
Pu. Sayapmu indah berwarna-warni, sementara aku?” Ipung bersedih.
“Ipung,
setiap makhluk mempunyai kelebihannya masing-masing. Aku memang punya sayap
yang berwarna-warni, itu kelebihanku. Tapi bukan berarti aku lebih baik darimu.”
Pupu kembali menghibur sahabatnya itu.
Tiba-tiba
dari atas mereka terdengar suara yang keras menderu-deru. Sebuah benda
melintas.
“Apa
itu?” Ipung terkejut. “Ayo kita ikuti dia!” Ajaknya. Ia langsung melesat pergi,
sementara Pupu tertinggal di belakang.
Pupu
terengah-engah memanggil, “Ipung! Tunggu aku! Tuh kan, aku kalah cepat
denganmu. Terbangmu cepat sekali. Kelebihanmu itu harus disyukuri.” Kata Pupu
sambil berusaha mengatur napasnya.
Ipung
tersenyum. “Hehe, maaf. Aku takut kehilangan jejak benda itu, jadi aku ngebut.”
Ujarnya sambil tertawa.
“Itu
helikopter, buatan manusia.” Pupu menjelaskan. Setelah mengamati dengan seksama,
ia kembali berkata, “Ipung, bentuk helikopter itu hampir sama dengan bentuk
tubuhmu. Coba kau perhatikan! Kepalanya besar seperti kepalamu, ekornya ramping
seperti ekormu.”
“Benar
juga.” Ipung pun penasaran. “Tapi mengapa manusia meniru bentuk tubuhku?”
“Karena
kamu punya kemampuan terbang lebih cepat dari serangga yang lain.
Manusia-manusia itu ingin lebih cepat sampai ke tempat tujuan.” Pupu menerangkan.
Ipung
mengangguk dan makin menyadari kelebihannya. “Terima kasih, Pupu. Karena kamu,
aku sekarang tahu bahwa setiap makhluk diberi kelebihan oleh Tuhan. Sekarang
aku akan lebih banyak bersyukur.” Ipung tersenyum sambil menggandeng sahabat baiknya
itu.
Di sebuah belantara laut,
tinggallah seekor gurita berwarna merah bernama Paman Octo. Di mata Ubit si
ikan badut dan kawan-kawannya, Paman Octo terkenal galak dan tak ramah.
Karenanya, mereka takut untuk menyapa apabila bertemu dengannya. Saat pulang sekolah
pun, mereka sengaja mengambil jalan lain, asalkan tidak melewati rumahnya. Pernah suatu hari Ubit dan kawan-kawan dimarahi oleh Paman Octo ketika
bermain di halaman rumahnya.
“Pergi kalian! Jangan main
di depan rumahku! Kalian hanya bisa mengotori halamanku saja.” Teriakan Paman
Octo saat itu terngiang-ngiang di benak Ubit.
Suatu hari, Ubit dan
kawan-kawan diminta Pak Guru untuk mengantar surat kepada Paman Octo. “Ubit, tolong antarkan surat ini ke rumah Paman Octo ya. Sekolah kita
akan mengadakan kegiatan yang melibatkan Paman Octo sebagai pembimbing.”
“Baik, Pak.” Jawab Ubit. Ia membalikkan
badan ke arah kawan-kawannya dengan lunglai, bingung harus bagaimana. Biasanya
ia melakukan perintah Pak Guru dengan senang hati, tapi kali ini berbeda. Ia
tak mungkin membantah perintah itu, tapi tak mungkin juga menemui Paman Octo di
rumahnya. Ia takut kena marah lagi.
Mereka pun berunding. Mika
si ikan kakap berpendapat, “Sudah, kita hadapi saja. Kalau Paman Octo marah
kita langsung kabur.” Ubit dan yang lainnya mengangguk.
“Tapi lebih bagus lagi kalau
kita meminta maaf terlebih dulu atas kejadian beberapa waktu yang lalu itu.”
Sahut Tina si ikan tuna.
“Loh, kenapa kita yang minta
maaf duluan? Kan belum tentu kita yang salah.” Mika ini agak ngeyel rupanya.
“Siapa tahu kita memang
salah, tapi kita tidak tahu letak kesalahan kita dimana.” Tina kembali
menjelaskan.
“Oke deh kalau begitu.” Mika
akhirnya setuju.
“Kalau begitu, ayo kita ke
rumah Paman Octo sekarang!” ajak Ubit.
Tok tok
tok… Ubit mengetuk pintu perlahan.
Tok
tok tok… Diulanginya lagi untuk kedua kali. Sesaat kemudian
terdengar suara dari dalam.
“Siapa?” Tanya suara itu. Ubit gemetar. Suara
itu adalah suara Paman Octo.
“S s s saya Ubit, Paman. Mau
mengantar surat dari Pak Guru.”
Paman Ubit membuka pintunya
lalu menyilakan Ubit dan kawan-kawannya masuk. Ubit segera menyerahkan surat
yang ia maksud. “Ini Paman, titipan dari Pak Guru.” Paman Octo membukanya. “Kata
beliau, Paman Octo akan menjadi pembimbing di kegiatan sekolah, betulkah itu?”
Tanya Ubit memberanikan diri.
Paman Octo memandang ke
arahnya, diam. Beliau menyamankan posisi duduknya lalu menjawab, “Iya. Kemarin Pak
Guru sudah menemui Paman dan membicaraan hal ini.”
“Oya Paman, sebelumnya kami
ingin meminta maaf atas kejadian beberapa waktu lalu ketika kami bermain di
halaman rumah Paman.” Ucap Tina. Ia memang bisa diandalkan untuk urusan ini. Sikapnya yang santun membuat Paman Octo tak terlihat galak lagi.
“Iya, Paman maafkan. Ini
juga yang nanti akan Paman sampaikan di sekolah kalian.” Paman Octo berlalu
mengambil sebuah kantong plastik. Ubit dan kawan-kawannya penasaran tentang isi
kantong itu.
“Kalian tahu tidak mengapa
saat itu Paman marah pada kalian?” Semua menggeleng. Paman Octo mulai
mengeluarkan semua isi kantong plastik itu, dan itu membuat mereka tercengang.
“Ahhh.. Iya Paman. Kami
sekarang sudah tahu letak kesalahan kami.” Ujar Mika sambil menepuk jidatnya.
Paman Octo tersenyum.
“Kalian tahu? Setiap hari Paman memunguti sampah-sampah ini. Paman membaginya
menjadi dua jenis. Sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik paman
taruh di sebuah wadah untuk dijadikan makanan bagi teman-teman kecil kita yang
lainnya, contohnya udang. Sampah anorganik seperti kaleng minuman ini Paman
olah lagi menjadi sesuatu yang bermanfaat.”
“Untung ada Paman Octo ya.”
Ucap Ubit sambil berbinar.
“Tapi Paman tidak bisa
sendirian. Paman membutuhkan bantuan dari kalian. Kalian lihat, sampah semakin
hari semakin tidak terkendali jumlahnya. Ajaklah teman-temanmu untuk mencintai
laut kita, tempat hidup kita. Mintalah mereka agar tidak membuang sampah
sembarangan. Kalian tentu tidak mau meminum air yang kotor dan berbau, bukan?”
Ubit dan kawan-kawan
mengangguk setuju. “Siap Paman!” mereka serentak berteriak semangat.
“Bagus!” Paman Octo
tersenyum lebar.
“Ternyata Paman Octo tidak
seseram yang kita bayangkan ya?” Tina berseloroh. Semua tertawa.
Tibalah hari yang
dinantikan. Paman Octo datang ke sekolah dengan membawa beberapa perlengkapan.
Ubit dan kawan-kawan menyambutnya dan membantunya membawa perlengkapan itu.
Paman Octo membagi banyak
sekali ilmu dan pengetahuan yang ia punya dalam kegiatan ini. “Anak-anak, ini
adalah beberapa benda yang Paman buat dari kaleng minuman. Ada celengan, kotak
surat, tempat pensil, mobil-mobilan dan sebagainya. Jadi mulai saat ini, jangan
membuang sampah di sembarang tempat ya… Mari kita jaga laut kita agar tetap
bersih, supaya air yang kita minum juga menyehatkan tubuh kita. Setuju?”
“Setuju!!” semua murid
kompak menjawab.
Di akhir acara, Paman
Octo berterima kasih pada Ubit dan kawan-kawan yang telah membantunya. Beliau
mengangkat mereka sebagai “Prajurit Pecinta Kebersihan".