Dear Mama, Apakah Ketidaksempurnaan adalah Dosa?

Thursday, July 30, 2020


Assalamu'alaikum...

Udah lama banget Mama Kepiting ngga nulis di sini. Rasanya rinduuu, tapi apa daya, ada banyak pekerjaan yang menunggu diselesaikan juga. Sebenarnya di kepala ini ada banyak hal yang ingin dituliskan, termasuk pengalaman ketika Mas Amay dan Dek Aga terkena Flu Singapura beberapa waktu lalu. Tapi nanti dulu, yaaa.. Hari ini saya mau curhat dulu.

Ma, tahun ajaran baru sudah dimulai, ya... Dan anak-anak pun masih menjalani PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) karena pandemi corona yang sedang melanda. Rasanya ingin mengeluh, yaa, tapi semoga kita tidak saling menyalahkan karena memang tidak ada yang diuntungkan di sini, baik itu para guru, anak-anak, maupun orang tua. Semua memiliki bebannya sendiri-sendiri.

Kalau mau melihat sisi positifnya, mungkin untuk para ibu salah satu hikmahnya adalah bahwa kita dipaksa kembali ke fitrah sebagai madrosatul uula, sekolah utama untuk anak-anak kita. Namun, Ma, menjaga kewarasan diri memang penting adanya, supaya kita bisa menjadi tempat belajar ternyaman untuk mereka.

Jujur, saya sendiri belum menemukan formulanya. Terkadang hari-hari berjalan sempurna, tetapi ada kalanya berantakan juga. Seperti hari ini, ketika Mas Amay harus setor hafalan via voice note ke grup tahfidz kelasnya. Seperti biasa, semua kegiatan sudah dimulai setelah sholat shubuh. Adek Aga dengan hafalan, iqro', AISM, dan 1 lembar kegiatan. Mas Amay dengan muroja'ah dan hafalan.

Nah, rupanya mendekati periode bulanan saya, saya menjadi super sensitif, mudah marah, mudah juga menangis. Ketika Mas Amay melakukan sedikit kesalahan, saya resah. Saya menginginkan kesempurnaan, hingga menyuruhnya mengulang-ulang bacaan.

"Yaf'alu, Mas Amay... Bukan yaf alu. Ulang, yaa..."

"Hum... Him... Coba ھ-nya lebih tebal, jangan seperti ح

Lama-lama mungkin anaknya capek sehingga mood-nya berubah. Dari situ saya tersadar bahwa saya telah melakukan kesalahan. Saya menyesal.

"Rin, kamu aja ngga sempurna, teganya kamu menuntut kesempurnaan dari anak-anak," batin saya.

Entahlah, kepada Dek Aga saya lebih mudah memaklumi, tetapi mengapa kepada Mas Amay tidak bisa begitu? Maafkan Mama ya, Mas Amay. You know, Mama loves you so much.



~

Begitulah. Pada akhirnya, rekaman Amay yang pertamalah yang saya kirimkan, karena rekaman-rekaman berikutnya nyatanya tidak lebih baik dari rekaman pertama. Mungkin karena rekaman pertama dilakukan tanpa tekanan, ya?

Ya Allah, semoga amarah-amarah seperti ini tak terulang lagi. Bimbing saya, Ya Allah, agar bisa menjadi Mama yang baik untuk Mas Amay dan Dek Aga. Bimbing saya agar bisa mengontrol pikiran, perasaan, ucapan dan tingkah laku. Aamiin.



Read More