Sistem Zonasi Bikin Emosi?

Wednesday, June 19, 2019


Sudah menjadi rahasia umum jika Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi di sekolah-sekolah negeri tahun ini cukup menguras emosi. Sebenarnya aturan ini mulai diberlakukan sejak tahun lalu, akan tetapi belum semua sekolah menerapkannya. Nah, tahun ini, seluruh sekolah negeri, tampaknya harus mengikuti aturan baru. Mau tidak mau.

Nah, seperti yang sudah jamak terjadi, setiap ada aturan baru biasanya ada kontroversi yang mengikuti. Dan terkait sistem zonasi tahun ini, terus terang, saya termasuk salah satu yang kurang menyetujuinya. Ya, mungkin sebenarnya kita (atau saya saja ya?) cuma perlu waktu untuk beradaptasi sih.

Sebagai informasi, saya adalah alumnus SMP Negeri 2 Purworejo. Beberapa hari lalu, ada berita yang cukup menarik dari sekolah ini. 

Sistem Zonasi SMPN 2 Purworejo, via detikNews

Ya, demi sekolah idaman untuk putra-putrinya, para orang tua rela tidur di trotoar depan sekolah. Mereka mengejar 45 kuota zona utama yang disediakan khusus untuk warga yang bertempat tinggal di sekitar sekolah. Tentu saja, berita seperti ini langsung jadi topik diskusi yang seru di WAG alumni.

Baca beritanya aja udah kebayang ruwetnya nggak sih? 

Memang, banyak yang mengkritik sistem PPDB seperti ini. Salah seorang teman yang putrinya masuk SMP tahun ini, mengeluhkan alur pendaftaran yang bikin mumet. Teman yang lain yang juga merupakan guru kelas 6 SD, mengeluhkan sulitnya memotivasi anak didiknya untuk belajar di Ujian Nasional kemarin. Menurutnya, anak-anak ini sudah paham bahwa mereka tidak akan bisa sekolah di sekolah favorit karena tempat tinggal mereka jauh dari sekolah idaman. Lalu untuk apa susah-susah belajar? 

Kalau begini, sistem zonasi bikin males belajar, opini atau fakta? :)

Sebenarnya sih kalau dilihat, sistem zonasi ini memiliki tujuan mulia, yaitu untuk memberikan akses dan keadilan terhadap pendidikan bagi semua kalangan masyarakat, seperti yang dikatakan oleh Mendikbud Muhadjir Effendy. Namun, jika melihat keluhan-keluhan para orang tua dan guru terkait dengan sistem zonasi ini, tampaknya peraturan ini perlu dikaji lebih dalam lagi.

Pertama, ini kan masih permulaan atau perkenalan. Sebaiknya prosentase untuk warga sekitar jangan terlalu besar. Bertahap dulu lah, supaya nggak terlalu kaget. Pertimbangkan pula usaha anak-anak yang sudah berjuang untuk meraih nilai yang baik di Ujian Nasional.

Kedua, label sekolah favorit atau sekolah tidak favorit, mestinya perlahan-lahan mulai ditiadakan. Ini berarti, tidak perlu lagi ada ranking-rankingan.

Ketiga, sarana dan prasarana sekolah juga mesti disamaratakan. Jika fasilitas sudah merata, saya rasa anak-anak berotak cemerlang yang rumahnya jauh dari sekolah favorit, akan legowo jika ia harus sekolah di sekolah yang dekat dengan rumah.

Tapi, terlepas dari semua  itu, sebagai anak desa yang dulu berkesempatan untuk merasakan sekolah di tengah kota, saya harus bilang, ada kebahagiaan tersendiri ketika kita bisa mengenal teman-teman dari daerah lain. Saat class meeting atau saat minggu bebas pasca ujian, kami bahkan punya agenda berkunjung ke rumah teman. Ini jadi pengalaman yang seru, lho!

Tanpa adanya sistem zonasi seperti sekarang ini, anak kampung seperti saya juga bisa merasakan bagaimana bahagianya ketika pulang sekolah bisa mampir ke swalayan untuk jalan-jalan, membeli barang-barang impian dengan uang saku yang telah lama dikumpulkan. Dengan adanya sistem zonasi, apakah sensasi seperti ini akan bisa dirasakan anak-anak kampung seperti saya lagi? :)


Hmm, semoga tahun depan ada kebijakan yang lebih bijak lagi deh, yaa.. Jika memang sistem zonasi akan tetap diberlakukan, semoga tidak ada drama lagi lah yaa, karena kita ini Indonesia, bukan Korea. Eeaaaa... Senyum dulu ah. 😁



Read More