[Dongeng] Antar Aku Pulang

Wednesday, October 19, 2016

Hallooo, sudah tanggal 19. BloggerKAH datang lagi nih... Kali ini kami menguji diri sendiri dengan mencoba membuat sebuah cerpen anak. Baru belajar, jadi kalau kurang bagus jangan dibully yaa... Bikin cernak itu ngga mudah lho! Hayo siapa kemarin yang bilang kalau bikin cernak itu guampiiil? Woh...cobaen sana!

Bikin cernak itu harus memperhatikan tata bahasa, kira-kira target pembacanya usia berapa. Jangan sampai, cernak untuk anak balita, bahasanya seperti untuk anak SD, misalnya. Ini sih, kata cikgu-cikgu saya yaa... Selain itu, harus ada pesan moral atau nasihat yang bisa diambil. Nah ini, saya terkadang menggunakan cerita fiksi untuk menyampaikan sesuatu pada Amay. Dan biasanya Amay akan lebih mengingatnya dibanding ketika saya "berceramah".

Oke, ngga usah panjang lebar lagi, teman-teman bisa baca cerita Mommy Han aka Rani R Tyas disini
Cerita Mommy K, aka Mbak Widut, disini
Dan blogger tamu kita, Mbak Irawati Hamid, disini

Please, enjoy our story :) 




ilustrasi cerpen "Antar Aku Pulang" by Yopie Herdiansyah


Antar Aku Pulang


Di sebuah ladang, tampak ibu kelinci dan anaknya sedang memanen wortel. Obit, nama anak kelinci itu, terlihat sangat gembira.

“Ibu, nanti aku mau makan yang ini, ini, dan juga yang ini!” Mata Obit berbinar, sementara jarinya sibuk menunjuk wortel yang berukuran besar.
“Boleh.” Kata ibu. “ Tapi, bantu ibu memasukkan wortel-wortel ini ke keranjang ya...”
“Siap!” Ia kemudian melakukan seperti yang diperintahkan ibunya. 
“Nah, sudah selesai.” Ujarnya girang, saat ia berhasil menyelesaikan tugasnya.
“Wah, pintar! Terima kasih, sayang. Ibu akan mencuci wortel-wortel ini di sungai.” kata ibu.
“Mmm...sekarang, aku boleh main?” tanya Obit.
Ibu  mengijinkan, tetapi dengan satu syarat. “Jangan lama-lama ya, sebentar lagi malam datang.”
“Baik, Bu.” Obit pun melompat-lompat kesana kemari, sambil bernyanyi tralala trilili.

Tiba-tiba, ia mendengar seseorang ikut bernyanyi. Rupanya, itu adalah suara seekor burung pipit.  “Hai, aku Ipit.” Sapa burung itu.
“Hai, aku Obit.” Jawab Obit sambil tersenyum.
Setelah perkenalan itu, Ipit dan Obit pun berbincang dengan riang. Sesekali mereka bernyanyi bersama. Mereka membicarakan apa saja, termasuk makanan kesukaan mereka.

“Aku suka makan biji padi. Sayangnya, pak tani sering mengusirku saat aku sedang menikmati makananku. Kalau kamu, suka makan apa?” tanya Ipit.
“Aku suka sekali makan wortel. Tadi aku baru saja memanen wortel di ladang. Sekarang ibuku sedang mencuci wortel-wortel itu di sungai.” 
Tiba-tiba Obit teringat sesuatu, “Ibu!” 
Obit lupa pada pesan ibu. Ia kini kebingungan karena siang telah berganti malam. “Aduh, bagaimana ini? Aku harus pulang, tapi hari sudah gelap.” Obit pun menangis.

Ipit merasa bersalah. Karena dia, kawan barunya ini jadi pulang terlambat. “Tenanglah, Obit. Aku coba cari bantuan dulu, ya...” Ipit lalu mencicit, memanggil kawan-kawannya.
Tak lama kemudian, sekumpulan cahaya datang. Obit terkejut, tak mengira bahwa kawan-kawan Ipit itu adalah sekelompok kunang-kunang. Terbukti bahwa Ipit memang pandai bergaul. Ia punya banyak teman dari berbagai jenis binatang.
“Kawan-kawan, Obit ini kawan baruku. Ia ingin pulang, tapi hari sudah gelap. Ayo kita antarkan dia pulang!” Katanya pada gerombolan kunang-kunang itu. Mereka pun menjawab, “Dengan senang hati.”
“Baiklah, ayo kita berangkat!” ajak Ipit. “Dengan lampu alami di perut kunang-kunang, jalanan akan terlihat terang.” Kata Ipit pada Obit.

Akhirnya, Obit sampai di rumah. Ibu Obit terlihat cemas menunggu anaknya pulang. Namun, rasa cemas itu kini hilang.
“Kemana saja kamu, Nak? Ibu khawatir.”
“Maafkan Obit, Bu. Obit terlalu asik bermain sampai lupa pesan ibu.” Obit mengungkapkan penyesalannya. Ia pun berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.
“Oya, Bu, ini semua kawan baru Obit. Karena mereka Obit bisa pulang.” Obit memperkenalkan burung pipit dan kunang-kunang yang telah mengantarnya.
“Oh... Terima kasih ya Nak, karena kalian telah membantu Obit.” Kata ibu Obit.
“Sama-sama, Bu.” Ipit dan kunang-kunang menjawab serempak.



~-~


Read More

Kematian di Mata Bocah 5 Tahun

Friday, October 7, 2016

Sebelum Amay tidur tadi, kami terlibat sebuah pembicaraan serius. Saya katakan serius karena yang kami bicarakan adalah perihal kematian. Sebelum ini, sebenarnya kami juga pernah berdiskusi tentang “mati”, yang bermula setelah Amay menonton sebuah film.


Waktu itu, Amay tiba-tiba bertanya, "Mama, orang Jepang itu kalau meninggal terus dibakar ya?" setelah menyaksikan film produksi Ghibli itu. Film itu bercerita tentang dua anak korban perang, yang harus rela ditinggalkan oleh ayah dan ibunya. Ayahnya yang seorang Angkatan Laut, tak jelas bagaimana nasibnya, karena ia tak pernah kembali lagi. Sang ibu, mengalami luka bakar serius, hingga akhirnya pergi. 

Pertanyaan Amay di atas terlontar, karena dia menyaksikan bahwa para korban perang yang telah tewas, dikumpulkan dalam satu tempat, kemudian dibakar. 

Setelah mendengar pertanyaannya, saya pun menjawab, "Iya, itu namanya dikremasi."

Amay melanjutkan bertanya, "Kalau nanti Mas Amay meninggal?" dan saya pun menjawab, "Kalau orang Islam, setelah meninggal ya dikubur." (Sewaktu menjawab pertanyaannya saya terus berdo'a, agar Allah berkenan memanjangkan usia kami)

"Di dalam tanah ada apa, Ma? Cacing? Kelabang? Ular?" tanyanya lagi, dan membuat saya bergidik ngeri. Duh Nak, Mama sepertinya belum siap. Mama masih banyak dosa, yang Mama buat lewat mulut, lewat jari, lewat hati, lewat mata, telinga, ahhhh... 

~~~

Dan obrolan kami malam ini, lagi-lagi juga diawali dari sebuah film. Film ini sebenarnya sudah puluhan kali kami tonton bersama, yaitu My Neighbor Totoro.

Ketika masuk di sebuah adegan, tiba-tiba Amay bertanya,

Amay: “Ma, itu Satsuki kenapa nangis?”

Saya: “Karena Satsuki takut kalau nanti ibunya meninggal.” (Ada sebuah scene dimana Satsuki amat bersedih setelah menerima telegram dari Rumah Sakit, yang mengabarkan tentang kondisi terakhir ibunya).  “Kalau nanti Mama meninggal, Mas Amay takut nggak?” tanya saya lagi.

Amay: “Takut. Mama jangan meninggal dulu.”

Saya: “Mama ‘kan nggak tau kapan meninggalnya...”

Amay: “Nanti kalau Mas Amay sudah besar, Mas Amay juga meninggal?”

-Sampai disini, jujur saya gemetar-

Saya: “Meninggal itu nggak harus menunggu besar, Mas. Mau kecil, besar, tua, muda, terserah Allah kapan mau diambil nyawanya. Makanya, setiap hari kita harus berbuat baik, buat tabungan di akhirat. Kalau kita punya salah, nggak boleh malu untuk minta maaf, karena kalau kita sudah minta maaf, insya Allah nanti Allah juga akan memaafkan. Harus sering-sering istighfar. Harus mau berbagi, menabung (saya menggunakan kata ini untuk menyebut infaq dan sedekah), shalat dan ngaji juga nggak boleh malas, karena kita nggak tau kapan kita akan meninggal.” Bla bla bla...

-Sesungguhnya saya sedang mengingatkan diri saya sendiri-

Amay: “Lha adik tadi nggak mau minta maaf koq...(sambil mukanya kelihatan sedih, teringat waktu Aga memukulnya)”

Saya: “Adik Aga ‘kan masih kecil, makanya setiap hari harus kita ajari untuk minta maaf. Mas Amay ‘kan lihat sendiri tadi, Mama nyuruh adik salim sama Mas Amay, ya’kan? Tapi karena adik masih kecil, jadi masih suka lupa, makanya yang besar-besar kayak Mas Amay, Mama, Papa, harus mengingatkan.”

Amay: “Mama, Mas Amay juga tabungannya udah banyak sekali, di masjid. Nanti boleh buat beli apa aja Ma?”

Saya: “Kata siapa banyak? Masih kuraaang...kita perlu tabungan yang buanyaaaakkk buat di akhirat nanti. Lagian tabungannya nggak bisa diambil sekarang, nggak kayak uang Mama yang di ATM. ”

Amay: “Lha kenapa?”

Saya: “Ya itu biar jadi urusan Allah aja, kita nggak usah ingat-ingat berapa tabungan kita.”

-Duh Mas, Mama aja nggak tau, tabungan kita apa cukup buat “membeli” ampunan Allah. Jangankan berpikir buat beli istana di surga, Mama justru khawatir tabungan kita nggak cukup untuk sekedar membayar dosa- 

Amay: “Tapi Mas Amay anak sholih kan?”

Saya: “Asal Mas Amay dengerin Mama, insya Allah Mas Amay jadi anak sholih. Ingat ya, Mas Amay sama adik Aga itu tabungan Mama.”

Lalu Amay mengangguk. Semoga dia paham.





Read More