Ini adalah cerpen yang mengantarkan saya menjadi juara harapan 2 di lomba menulis dongeng Nusantara Bertutur. Tulisan ini telah dimuat di Kompas edisi Minggu, 12 Oktober 2014.
Karena cerpen inilah kepercayaan diri saya semakin besar. Ternyata saya bisa. Sebelum ini, selalu muncul keraguan dalam diri, apakah cerita-cerita yang saya buat layak untuk dibaca orang lain? Dan inilah kali pertama saya muncul sebagai juara, meski hanya harapan, di suatu lomba. Sebelumnya tak pernah seberuntung ini. :D
Nah, barangkali ada di antara ibu atau ayah di luar sana yang juga senang membacakan cerita untuk anak-anaknya menjelang tidur. Mungkin cerita ini bisa dibacakan. Semoga bermanfaat untuk semua.
Ipung Belajar Bersyukur
Ipung
si capung, bersama sahabatnya Pupu si kupu-kupu, terbang ke sebuah taman.
“Lihat
anak-anak manusia itu, bahagia sekali ya? Mereka berlarian dengan kedua kaki
mereka.” Ujar Ipung. “Seandainya kakiku kuat seperti mereka.” Ia
berandai-andai.
“Ssst,
tidak boleh begitu. Kita juga punya kelebihan, lho. Lihat, dengan sayap ini
kita bisa terbang. Kita harus bersyukur.” Ucap Pupu bijaksana.
Tiba-tiba
seorang gadis kecil mendekati mereka dan berkata pada temannya, “Hei lihat, ada
kupu-kupu dan capung!”
Temannya
menimpali, “Wah iya, cantik sekali ya mereka? Coba kita punya sayap, kita bisa
terbang deh, seperti mereka!”
Ipung
dan Pupu yang mendengar percakapan itu saling pandang dan tersenyum. “Tuh kan,
mereka juga ingin mempunyai sayap seperti kita.” Kata Pupu, yang disambut
dengan anggukan setuju oleh Ipung.
“Lihat!
Ada yang sedang menggambar!” seru Ipung.
“Wow,
mereka sedang menggambar kita.” Pupu menimpali.
Namun
beberapa saat kemudian Ipung menunduk. “Lihatlah, mereka lebih suka menggambarmu,
Pu. Sayapmu indah berwarna-warni, sementara aku?” Ipung bersedih.
“Ipung,
setiap makhluk mempunyai kelebihannya masing-masing. Aku memang punya sayap
yang berwarna-warni, itu kelebihanku. Tapi bukan berarti aku lebih baik darimu.”
Pupu kembali menghibur sahabatnya itu.
Tiba-tiba
dari atas mereka terdengar suara yang keras menderu-deru. Sebuah benda
melintas.
“Apa
itu?” Ipung terkejut. “Ayo kita ikuti dia!” Ajaknya. Ia langsung melesat pergi,
sementara Pupu tertinggal di belakang.
Pupu
terengah-engah memanggil, “Ipung! Tunggu aku! Tuh kan, aku kalah cepat
denganmu. Terbangmu cepat sekali. Kelebihanmu itu harus disyukuri.” Kata Pupu
sambil berusaha mengatur napasnya.
Ipung
tersenyum. “Hehe, maaf. Aku takut kehilangan jejak benda itu, jadi aku ngebut.”
Ujarnya sambil tertawa.
“Itu
helikopter, buatan manusia.” Pupu menjelaskan. Setelah mengamati dengan seksama,
ia kembali berkata, “Ipung, bentuk helikopter itu hampir sama dengan bentuk
tubuhmu. Coba kau perhatikan! Kepalanya besar seperti kepalamu, ekornya ramping
seperti ekormu.”
“Benar
juga.” Ipung pun penasaran. “Tapi mengapa manusia meniru bentuk tubuhku?”
“Karena
kamu punya kemampuan terbang lebih cepat dari serangga yang lain.
Manusia-manusia itu ingin lebih cepat sampai ke tempat tujuan.” Pupu menerangkan.
Ipung
mengangguk dan makin menyadari kelebihannya. “Terima kasih, Pupu. Karena kamu,
aku sekarang tahu bahwa setiap makhluk diberi kelebihan oleh Tuhan. Sekarang
aku akan lebih banyak bersyukur.” Ipung tersenyum sambil menggandeng sahabat baiknya
itu.