Saya termasuk orang tua yang tidak membiasakan anak jajan sembarangan, apalagi belanja ke warung sendirian. Anak saya pun tumbuh menjadi anak yang tak terlalu merepotkan, karena mereka bukan tipe anak yang tiap kali melihat pedagang lewat di depan rumah, merengek minta dibelikan. Alhamdulillah, pengeluaran harian jadi lebih hemat. Tapi kemudian ada hal yang membuat saya menyesal, mengapa tidak memperkenalkan nilai uang sejak dini?
Orang tua mana yang ingin anaknya boros? Orang tua mana yang
nggak ingin anaknya anteng, puas dengan masakan rumah, tidak terbiasa minta
uang untuk jajan? Makanya, menyadari bahwa mencari uang tidaklah mudah, saya
pun tak membiasakan anak-anak jajan.
Anak-anak bukannya tak pernah jajan, ya... Jajan, tapi
sekedarnya saja. Misalnya, saat saya harus ke minimarket atau ke toko dekat
rumah untuk membeli sesuatu, kemudian anak-anak ikut serta, maka es krim, susu,
biskuit atau makanan kecil lainnya, pasti menarik perhatian mereka.
Ya, mereka hanya jajan di momen ketika ada saya atau
papanya atau tantenya yang menemani. Mereka bukan tipe yang minta uang,
kemudian pergi jajan sendiri.
Kelihatannya menyenangkan, ya?
Di satu sisi, ini adalah hal yang sangat positif. Banyak
orang tua yang menginginkan demikian, karena pengeluaran bisa terkontrol, anak
pun tak akan jajan sembarangan. Tapi di sisi lain, saya agak menyesal. Kenapa?
Begini ceritanya,
Amay, sulung saya, tahun ini sudah menjadi anak SD. Sekolahnya lumayan
jauh dari rumah. Karena sekolah Amay berakhir pukul 13:15, maka memberikan uang jajan menjadi
hal yang wajar, meski sudah ada catering di jam istirahat ke dua.
Awal-awal Amay masuk kelas 1, saya sempat stres.
Amay belum tahu nilai uang.
Jangankan tahu harga makanan yang dia inginkan, belinya
pakai uang yang warna apa, kemudian ada kembalian atau tidak, Amay sama sekali
belum paham.
Saat mengantarnya di hari pertama, saya memintanya membeli
susu. Ia saya bekali uang 5K. Begitu ia kembali, ia hanya membawa sekotak susu
ukuran kecil tanpa kembalian, padahal harganya adalah 2,5K. Akhirnya, sampai di
rumah, Amay saya jejali dengan pengetahuan tentang nilai uang, harga jajanan
yang mungkin ia beli nanti, bagaimana jika membeli dengan uang 5K sementara
harganya cuma 2K, bagaimana meminta kembalian, dll.
Dan itu takes time banget,
nggak cukup hanya seminggu-dua minggu. Setiap hari pun saya harus “menginterogasi”
apa saja yang dibelinya, bagaimana dia membayarnya, dan lain sebagainya, untuk
make sure saja, apakah dia sudah membelanjakan uang sakunya dengan tepat.
recehan sisa uang jajan ditabung. sumber: kayusirih.com |
Cerita di atas tadi adalah satu poin yang menjadi alasan penyesalan saya
mengapa tidak mengenalkan nilai uang sejak dini pada Amay.
Penyesalan lainnya adalah ketika lebaran anak-anak mendapatkan
angpao, lalu mereka abai dengan uang yang mereka miliki. Bukan hanya “eman-eman”
atau sayang jika uangnya hilang, tapi lebih dari itu, abai dengan pemberian
orang tentu akan membuat sedih pemberinya, bukan? Berapapun besarnya, sedikit
atau banyak, tentu harus dihargai.
Nah, jadi kesimpulan saya; Ajarkan anak jajan supaya ia
paham dengan nilai uang, disamping itu, bimbing mereka untuk membelanjakannya
dengan cermat. Seperti pesan Eyang Titiek Puspa,
Jajan sih, boleh saja
Sisihkan buat nabung
Belanja sih, boleh saja
Tak lupa,nabung