Ternyata Begini Rasanya Mengasuh Anak Pra-Remaja

Monday, February 14, 2022


Akhirnya, kami harus mengucapkan kepada diri kami sendiri; Selamat datang ke dunia Parent-Teen! Selama ini kami hanya mendengar dari sana-sini bahwa mengasuh remaja itu penuh dengan tantangan. Banyak drama. Dan kini kami merasakannya juga. Pfft.

Tantangan mengasuh anak pra-remaja

Saat ini Mas Amay berumur 10 menuju 11 tahun. Usia ini digolongkan ke dalam usia pra-remaja, yakni peralihan dari masa anak-anak menuju tahapan sebelum dewasa. Di usia ini, banyak perubahan yang terjadi baik secara fisik maupun psikis, karena pengaruh hormon.

Secara fisik, perubahan itu bisa terlihat dari perubahan bentuk tubuh, suara, dll. Nah, yang biasanya menimbulkan konflik antara orang tua dan anak adalah karena perubahan pada psikis.

Kenapa?

Karena di usia ini, orang tua masih menganggap bahwa anaknya masih kecil, belum bisa membuat keputusan, dan masih harus diarahkan. Sementara itu, sang anak merasa bahwa ia bukan anak kecil lagi, ia merasa berhak membuat keputusan sendiri, dan juga ingin diakui sebagai orang dewasa.

Jujur, bagian ini lumayan bikin nyesek, Ma... Meski sedikit-sedikit sudah paham kisi-kisinya, tapi saat harus "praktik", nyatanya ini bikin kami shock juga.

Sebenarnya sudah sejak tahun lalu Mas Amay menunjukkan beberapa perubahan. Ia sering mengatakan, "Mas Amay kan bukan anak kecil lagi." 

Lain waktu dia bertanya, "Kapan ya suaranya Mas Amay berubah? Mas Amay males dianggap bocil terus gara-gara suara Mas Amay kecil."

Well, peer pressure is real. Padahal teman-temannya juga banyak yang suaranya belum berubah lho... Atau jangan-jangan di circle pertemanan Mas Amay, goals mereka saat ini adalah punya suara yang lebih berat?

Yang membuat Mama Kepiting akhirnya terpikir untuk menulis ini adalah, karena di tahun 2022 yang baru memasuki bulan Februari ini, Mas Amay sudah "marah-marah" sebanyak dua kali. Marahnya ini sambil menangis dan teriak-teriak.

Usia Pra-Remaja Itu, Emosinya Sangat Labil, Mood-nya Bisa Berubah Sangat Cepat

Tanda-tanda anak memasuki usia pra-remaja

Kejadian pertama adalah di bulan Januari. Saat itu kucing betina kami sedang di masa birahi. Jujur ini adalah pengalaman pertama bagi kami, karena kucing kami yang dulu berjenis kelamin jantan.

Baca: Akhirnya Mayo Jumpa Betina

Karena merupakan pengalaman perdana, kami jadi mudah panik. Suami jadi stres karena ada 3 kucing jantan yang bergantian datang ke rumah. Udah gitu ngga cuma ngawinin kucing kami, tapi kucing-kucing itu juga numpang makan dan pup. Sebel kan? 

Nah, di hari ketiga birahi, suami sudah sangat lelah. Ditambah lagi beliau WFH dan ada banyak deadline yang harus selesai sebelum kami ke Jogja untuk menghadiri acara keluarga. Mendengar kucing jantan udah meang-meong di depan memanggil kucing kami, suami langsung mengusirnya. 

Mas Amay salah tangkap. Ia mengira, papanya marah pada kucing kami. Mulai deh itu drama.

"Papa nggak punya hati!" teriaknya sambil menangis. "Kalau Papa menyakiti Mayo (kucing betina ini juga kami beri nama Mayo), sama aja Papa menyakiti Mas Amay!"

"Lho, siapa yang menyakiti?" Papanya bingung dong...

Rupanya telah terjadi kesalahpahaman. Susah memang berhadapan sama orang yang lagi bucin-bucinnya sama sesuatu, termasuk kucing. Alhamdulillah, kesalahpahaman itu terurai setelah perdebatan diskusi yang cukup lama. Nyaris 1,5 jam lho. Fyuuuh...

Di Usia Pra-Remaja, Keinginan untuk Memberontak dan Menolak Aturan Mulai Muncul


beberapa perubahan perilaku pada anak usia pra-remaja


Kesalahpahaman kedua, terjadi dua minggu lalu. Ba'da ashar, Mas Amay berniat mengerjakan PR-nya. Posisi saya saat itu sedang menemani Adek Aga mengerjakan tugasnya juga. Saat mengerjakan PR itu, Mas Amay bolak-balik bertanya, jawabannya apa. 

Berkaca dari pengalaman hari sebelumnya, yaitu ketika Mas Amay keliru menjawab soal Bahasa Indonesia karena tidak teliti membaca teks, saya pun berkata, "Coba dibaca yang teliti. Pasti ada jawabannya di teks."

Amay menjawab, "Nggak ada lho, Ma, Mas Amay udah baca berkali-kali."

"Kalau Mama baca dan ketemu jawabannya, gimana? Mas Amay kebiasaan kok, suka buru-buru bacanya." kata saya. "Mama sedih lho, karena minat baca Mas Amay menurun banget dibanding waktu kecil dulu.

Saya ngomong seperti itu ke Mas Amay, lalu kembali fokus ke Adek Aga. 

Tiba-tiba, hening. Mas Amay pun mulai menangis.

"Mas Amay nangis?" tanya saya. 

"Mama itu udah melukai Mas Amay. Mas Amay kan udah bilang, ini jawabannya tuh nggak ada. Mas Amay udah bilang berkali-kali tapi Mama nggak percaya, malah membanding-bandingkan Mas Amay sama Mas Amay yang dulu."

Waduh, kok jadi begini, pikir saya. 

Saya langsung melihat ke buku tugasnya Mas Amay. Ternyata ia benar, jawabannya memang tidak ada di teks. Saya pun mengaku bersalah dan tak ragu minta maaf padanya. Tapi Mas Amay terlanjur terluka.

Dia mengeluarkan semua keluh kesahnya tentang kami. Pertama, kami dianggap terlalu cepat menghakiminya. Dia pun tidak suka dibanding-bandingkan, meskipun itu dengan dirinya sendiri di masa lalu. Lama-lama, keluh kesahnya jadi beraneka warna, membuat kami bercermin, sudah jadi orang tua seperti apa kami selama ini. Meski memang, untuk beberapa hal, kami punya alasan tertentu dan saat itu pula kami langsung memberikan penjelasan padanya.

Contohnya ketika Mas Amay protes, kenapa kok kita harus sering pergi-pergi? Mas Amay lebih suka di rumah. (Ini tentang perjalanan bulan lalu saat kami menghadiri pernikahan salah satu anggota keluarga di Jogja sana. Rupanya dia nggak suka diajak ke acara seperti itu)

Tentu kami harus menjelaskan bahwa tidak ada pilihan lain lagi. Ketika kami harus ke Jogja, otomatis Mas Amay harus ikut, karena nggak mungkin kan kami meninggalkannya sendiri di Solo?

Protesnya semakin panjang. Katanya, kenapa kalau ada tamu, Mas Amay harus stand by nemenin di luar (ruang keluarga yang sekaligus jadi ruang tamu), dan nggak boleh diam di kamar? Kami pun menjelaskan, jika tamunya merupakan orang dekat (sepupu misalnya, atau teman yang anaknya seumuran dengan Mas Amay), tentu akan lebih sopan kalau Mas Amay ikut membaur. Meski begitu, sekarang kami memberi keleluasaan untuknya. Setelah ramah tamah (salim / jabat tangan), kalau Mas Amay kurang nyaman dan ingin masuk kamar, kami tidak akan melarang. Deal.

Papanya pun menambahkan. "Papa sekarang sudah paham, kayaknya Mas Amay termasuk anak yang introvert, karena Mas Amay lebih nyaman ketika sendirian. Tapi Mas Amay tau nggak? Yang introvert bukan cuma Mas Amay lho. Papa sama Mama juga. Cuma, meski kita lebih senang sendirian, kita nggak boleh lupa untuk bersosialisasi. Dan pesan Papa, meskipun Mas Amay introvert, Mas Amay harus tetap punya attitude yang baik, ngga boleh semaunya sendiri."

*

Beuh, panjang banget ya, Ma...

Sebenarnya masih ada banyak bahasan lain, tapi nanti jadi panjang banget tulisannya. Wkwkwk... 

Nah, setelah kejadian kedua itu, saya dan suami pun terlibat obrolan yang cukup dalam. Betapa Mas Amay saat ini sudah bukan anak kecil yang polos seperti dulu lagi. Pola pikirnya pelan-pelan berubah, pun dengan gaya bicara dan perilakunya. Maka kami pun harus mulai belajar untuk menjadi orang tua yang baik bagi sulung kami ini.

Sejak itu, saya mulai membaca beberapa literatur tentang karakter anak usia pra-remaja dan bagaimana cara terbaik untuk menyikapinya sebagai orang tua.

Ternyata benar, seorang anak yang telah memasuki usia pra-remaja, akan menunjukkan beberapa perubahan perilaku, seperti:

  1. Emosi yang sangat labil
  2. Perubahan mood yang sangat cepat
  3. Mulai menarik diri
  4. Interaksi dengan orang tua mulai berkurang
  5. Munculnya keinginan untuk memberontak
  6. Mulai mencoba keluar dari batasan-batasan yang selama ini ditetapkan orang tua 

 

Ciri-ciri anak usia pra-remaja

Memang perubahan-perubahan ini cukup bikin gemes, Ma... Tapi kita kan ngga boleh jadi orang tua yang otoriter, karena khawatirnya, anak malah akan tumbuh jadi seorang yang pendendam dan berhati dingin. 

Lalu, apa saja yang sebaiknya dilakukan para orang tua ketika anaknya memasuki usia pra-remaja dan menunjukkan beberapa perubahan perilaku seperti di atas?

1. Jangan merasa tersisih

Perubahan seperti ini tuh wajar, dan nggak hanya terjadi pada anak kita doang, Ma... Jadi, ketika anak memiliki "dunia baru" yang mereka anggap lebih seru dan lebih penting dibanding keberadaan orang tuanya, jangan sedih dulu. Jangan merasa tersisih, dan tetap jalin komunikasi yang baik dengan anak-anak. Kelak mereka akan sadar dengan sendirinya bahwa keluarga adalah segalanya. Memang ia sedang di masa seperti ini, jadi pantau dari jauh aja. 😊

2. Luangkan waktu khusus untuknya

Walaupun anak kita sudah semakin besar dan terlihat tidak membutuhkan kita lagi, tapi penting untuk tetap meluangkan waktu bersama, Ma... Saat-saat berkumpul bersama adalah sesuatu yang akan mereka kenang hingga nanti. 

3. Dengarkan dan hargai pendapatnya

Kemarin ketika Mas Amay mengungkapkan ketidaknyamanannya saat pergi-pergi dan saat ada tamu, kami berdua mempraktikkan ini. Kami mendengarkan dan menghargai pendapatnya, tetapi sambil menyisipkan nilai-nilai yang kami pegang. 

4. Beri ia lebih banyak kebebasan

Kita semua membutuhkan waktu untuk diri sendiri. Anak-anak pun sama. Ia memiliki hak untuk tidak memberi tahu orang tua, segala sesuatu tentang kehidupannya. Kesannya kok jadi nggak terbuka sama orang tua ya? Iya memang, tapi, kita harus belajar untuk menghargai privasi anak. Kalau masih susah, inget-inget lagi, Ma, dulu waktu kita remaja juga seperti itu, kan?

5. Jangan terlalu menghakimi

Jangan buru-buru menghakimi atau mengkritik perilaku anak, karena alih-alih akan paham, anak justru akan semakin memberontak.

6. Jangan bereaksi berlebihan

Jujur, poin 5 dan 6 ini sering luput saya lakukan. Saya masih harus belajar untuk tenang dan tidak overreact pada apapun.

7. Beri ia kepercayaan untuk membuat keputusan

Memang sulit untuk mulai memberi kepercayaan pada anak ya, Ma... Rasanya pengen banget untuk kasih saran ini anu ono. Namun, jika sebelumnya sudah terjalin komunikasi yang baik antara orang tua dan anak, jalan tengah akan lebih mudah didapat. Kita boleh kok memberikan alternatif solusi, dan selebihnya, biarkan anak memutuskan sendiri jalan yang akan dipilih. Yang pasti, ingatkan ia untuk bertanggung jawab atas pilihan yang ia ambil.

8. Tanamkan ajaran agama pada anak

Poin terakhir, tapi sejatinya merupakan yang pertama dan yang utama, yaitu penanaman nilai-nilai agama. Ketika nilai-nilai agama sudah melekat dalam keseharian anak, insya Allah segala sesuatunya akan lebih mudah. Namun tentu, jika kita menginginkan anak yang baik, maka kita pun harus bisa menjadi teladan yang baik pula.

Tips menghadapi anak usia pra-remaja

Menjadi orang tua memang tidak selalu mudah ya, Ma... Namun, konflik dengan anak usia pra-remaja juga tidak selalu menjadi hal yang buruk kok. Justru di sinilah awal mula anak kita belajar untuk lebih mandiri, mengemukakan pendapat, mempertahankan pendirian, hingga mencari jati diri. Dan yang anak-anak butuhkan di masa ini  bukanlah perlawanan, melainkan pendampingan. Bismillah, semoga kita selalu dibimbing-Nya ya, Ma... ☺️


Ditulis dengan Cinta, Mama

17 comments

  1. Eh sama lho, sekarang ga mau lagi di ceritain atau dibandingin waktu masih kecil.

    Trus, gampang cemberut kalau di tegur atau diingatkan.

    Haduh, tarik ulur terus jadinya.

    Kadang egoisnya jadi keluar, "aku kan emak, mosok kalah sih sama anak cemberut" ha ha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kemarin aku jawab gini, Mbak: Kadang-kadang kita memang mesti membandingkan diri dengan diri kita di masa lalu. Kita tu udah lebih baik belum? Ada kemunduran apa engga? Kalo ada kebiasaan baik yang hilang, ya sebaiknya dimunculkan lagi, kayak kebiasaan membaca itu.

      Wkwkwk... Kelihatan ya, aku ngga mau kalah juga? :D

      Delete
  2. Aku ikut deg-degan karena anakku bentar lagi 7 tahun tapi tingkahnya udah menunjukkan tanda-tanda. Hahaha. Eh tapi alhamdulillah anakmu mau mengungkapkan perasaan karena ada yg hanya memendam sampai sakit secara fisik.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mak, ini juga yang kami syukuri. Kami juga kemarin berterima kasih sama Mas Amay karena mau bicara. Daripada dipendam kan, takutnya jadi bom waktu malah.

      Delete
  3. Masya Allah .. kecerdasan verbal Mas Amay bagus, Mak ... jadi challenge tersendiri buat orang tuanya. Semoga bisa sama-sama terus belajar menyesuaikan, secara emaknya sudah tahu cara menghadapinya ^__^

    ReplyDelete
  4. Ya Allah maak samaa, anakku gadis yg gedhe sdh akil baligh malahan, emang sudah muncul perubahan emosi yaa kyk kita kl lg PMS.

    Sabaar sabaarr smg kita bisa menjadi orang tua yg baik buat anak2 kita ya maak.

    ReplyDelete
  5. Memang ya kalau anak-anak sedang dalam masa puber akan banyak dramanya. Di rumah saya juga seperti itu dulu. Tiada hari tanpa kesalahpahaman. Rupanya mereka juga sedang berjuang, masa peralihan ke masa remaja itu ternyata juga tidak mudah. Saya pun ingat dulu saat pubertas juga sering berantem dengan ibu :)

    ReplyDelete
  6. Kita satu klub nih kayaknya..wkwk..anakku udah 12 tahun tapi..masih masuk pra remaja ya... Tipsnya mantul nih.. Beruntung anakku suka cerita jadi tinggal jadi pendengar yang baik aja nih emaknya.. Kadang kalo aku kasih saran gitu dianya maunya cuma didengerin aja katanya..hahaha

    ReplyDelete
  7. Mari berpelukan Mbaaa. Hihihi. Anakku yang pertama (perempuan) juga gitu. Moody-an banget apalagi klao mau datang bulan. Makin-makin kan tuh moody-annya

    ReplyDelete
  8. Anak anak saya masih usia 6 dan 3 tahun mba, jd dramanya masih seputar rebutan mainan dan perhatian. Harus banyak belajar dari sekarang biar siap nantinya menghadapi anak anak usia pra remaja. Makasih mba insightnya.

    ReplyDelete
  9. Mas Amay gak jauh beda sama Fahmi putra saya. Putra saya jauh lebih pemalu dan sifat bapernya susah ditebak.
    Saya ikut belajar dari situasi tumbuh kembang Mas Amay ya...

    ReplyDelete
  10. Welkam to Parenteen..
    Senangnya..memasuki fasa baru lagi..

    Dan aku juga jadi sangat terbantu dengan artikel penjelasan kak Arin.
    Aku merasakan tapi karena suami setipe kaya anak pertamaku, jadi aku gak begitu melihat perubahannya terhadap kakak.

    Memang dari dulu kakak gak pernah mau membaur ke lingkungan yang besar. Ia gak attention seeker, dan sampai sekarang...lucunya kalau anak-anak pada ngobrol di zoom, kakak malah menunjukkan ketidaktertarikannya.

    Di zoom tuh, kalo anak-anak cewe suka ghibahin para mamaknya loo..
    Dan aku denger ketawa-ketawa. Pasalnya kan aku kenal semua sama para ummahat yang dighibahin.

    Terus aku bilang "Kakak kok gak ikutan ngomongin Mama kaya temen-temen?"
    "Engga, aah...Ma, not important."

    Hihii...aku pinginnya anak-anak punya pendapat dan prinsip sendiri. Jadi beda itu wajar kok...gak selamanya harus ikut arus demi teman.

    ReplyDelete
  11. Selamat datang di dunia mamak dengan anak pra-remaja. Sama persis pengalaman saat si kakak masih seusia mas Amay. Mbak Arin keren bisa langsung menghadapi dengan kepala dingin dan bijaksana.

    ReplyDelete
  12. pernah banget mengalami ketika anak sulung kelas 6 SD ya Allah ujian banget, pengennya menolak terus dan enggak mau dikasih tahu tapi alhamdulillah ia memilih masuk pondok dan bisa menjaga akhlaknya sampai sekarang.

    ReplyDelete
  13. Wah Mak aku juga kudu siap dengan hal macam ini ya, setidaknya punya gambaran permasalahan anak pra remaja meski permasalahan tiap anak pasti beda. Tapi seneng deh dengan mas Amay, meski memberontak dia masih bisa diajak diskusi. Kedekatan anak orang tua emang harus banget dijaga nih ya, jangan sampai pas berontak malah nakal di luar

    ReplyDelete
  14. Anakku tahun ini yang sulung sudah 9 tahun mbak, ya gitu perubahan dari fisiknya yang paling kentara, namun daya pikirnya pun bertambah kritis, kadang tanya hal yang di luar ekspektasi kami, makasih sharingnya nanti bakal dicobain deh karena sepertinya dia masih suka diperhatikan

    ReplyDelete
  15. terimakasih mama kepiting, ini guna banget buatku biar nanti menghadapi Rayi memasuki usia remaja daku ga salah treatment. Ga nyangka ya emosinya sangat kena banget sampe Mas Amay bisa nangis gitu

    ReplyDelete