Showing posts with label mendongeng. Show all posts
Showing posts with label mendongeng. Show all posts

Ket, Kucing Kecil yang Sedang Bersedih

Tuesday, September 6, 2016


Hari ini Ket tampak murung. Ia tak seceria biasanya. Teman-teman Ket menjadi heran karenanya. Pipit, seekor burung kecil, terbang mendekatinya. “Ket, apa kamu sakit? Kenapa diam saja?” tanyanya. Ket hanya menjawab dengan gelengan. Tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Cici, seekor kelinci kecil yang baik hati, ikut pula menghampiri Ket.
“Hai Pipit, hai Ket. Kalian sedang apa?”
“Aku sedang bertamu ke rumah Ket dan kulihat dia sedang murung. Tapi saat kutanya apa dia sedang sakit, dia hanya menggeleng.” Jawab Pipit.


Iput, seekor tupai yang mendengar percakapan mereka kemudian berkata, “Ket memang tidak sakit. Ia hanya sedang bersedih.”
“Dari mana kamu tahu?” tanya Cici sambil mengunyah wortelnya.
“Aku tadi melihatnya menangis.” Jawab Iput.
“Mengapa kamu menangis, Ket? Apakah ada masalah? Ceritakanlah pada kami, siapa tahu kami bisa membantumu.” Bujuk Pipit.
“Ibuku pergi.” Kata Ket singkat. Ia lalu menundukkan kepala.



“Tapi ibumu pergi untuk mencari makan, Ket. Untukmu juga. Kalau ibumu tidak makan, air susunya tak akan keluar. Kamu tak bisa menyusu nantinya. Yakinlah, ibumu tak lama lagi pulang. Tadi kudengar ibumu berkata seperti itu, bukan?” Iput berusaha menghibur.
“Iya Ket, kamu sabar ya… Kami disini akan menemanimu hingga ibumu kembali.” Cici juga berusaha menghibur kucing kecil itu.
“Kamu tahu, Ket? Dulu saat aku belum bisa terbang, ibuku selalu pergi meninggalkanku untuk mencari makanan, dan setelah ia dapatkan makanan itu, ibu menyuapiku.” Cerita Pipit. “Tapi aku tidak menangis, karena aku tahu ibu akan kembali.”
“Betul kata Pipit, Ket. Nanti kalau kamu sudah besar, pasti ibumu akan mengajakmu mencari makanan.” Ujar Cici menasehati.
“Tersenyumlah, Ket.” Bujuk Pipit. Ket pun tersenyum.



“Hai lihat! Siapa disana?” teriak Iput.
“Ibu!!!” Ket berlari menuju ibunya.
“Kau menangis, Ket? Matamu berair.” Tanya ibu dan dijawab Ket dengan tersipu malu.
”Tadi aku memang menangis, Bu. Tapi teman-teman datang menghibur dan menemaniku.” Kata Ket sambil memandang ke arah Pipit, Cici, dan Iput.
“Sudah mengucapkan terima kasih pada teman-temanmu?” Tanya ibu.
“Oh, aku sampai lupa. Terima kasih teman-teman,” kata Ket sambil tersenyum.
“Sama-sama Ket,” Iput, Pipit, dan Cici menjawab serempak.



Kini Ket tak bersedih lagi. Ia akan mencari teman-temannya jika ibu pergi mencari makan dan menyuruhnya tetap tinggal.
~-~





Read More

Dongeng Ipung Belajar Bersyukur

Wednesday, October 22, 2014

Ini adalah cerpen yang mengantarkan saya menjadi juara harapan 2 di lomba menulis dongeng Nusantara Bertutur. Tulisan ini telah dimuat di Kompas edisi Minggu, 12 Oktober 2014.

Karena cerpen inilah kepercayaan diri saya semakin besar. Ternyata saya bisa. Sebelum ini, selalu muncul keraguan dalam diri, apakah cerita-cerita yang saya buat layak untuk dibaca orang lain? Dan inilah kali pertama saya muncul sebagai juara, meski hanya harapan, di suatu lomba. Sebelumnya tak pernah seberuntung ini. :D

Nah, barangkali ada di antara ibu atau ayah di luar sana yang juga senang membacakan cerita untuk anak-anaknya menjelang tidur. Mungkin cerita ini bisa dibacakan. Semoga bermanfaat untuk semua.



Ipung Belajar Bersyukur

Ipung si capung, bersama sahabatnya Pupu si kupu-kupu, terbang ke sebuah taman.
“Lihat anak-anak manusia itu, bahagia sekali ya? Mereka berlarian dengan kedua kaki mereka.” Ujar Ipung. “Seandainya kakiku kuat seperti mereka.” Ia berandai-andai.
“Ssst, tidak boleh begitu. Kita juga punya kelebihan, lho. Lihat, dengan sayap ini kita bisa terbang. Kita harus bersyukur.” Ucap Pupu bijaksana.
Tiba-tiba seorang gadis kecil mendekati mereka dan berkata pada temannya, “Hei lihat, ada kupu-kupu dan capung!”
Temannya menimpali, “Wah iya, cantik sekali ya mereka? Coba kita punya sayap, kita bisa terbang deh, seperti mereka!”
Ipung dan Pupu yang mendengar percakapan itu saling pandang dan tersenyum. “Tuh kan, mereka juga ingin mempunyai sayap seperti kita.” Kata Pupu, yang disambut dengan anggukan setuju oleh Ipung.
“Lihat! Ada yang sedang menggambar!” seru Ipung.
“Wow, mereka sedang menggambar kita.” Pupu menimpali.
Namun beberapa saat kemudian Ipung menunduk. “Lihatlah, mereka lebih suka menggambarmu, Pu. Sayapmu indah berwarna-warni, sementara aku?” Ipung bersedih.
“Ipung, setiap makhluk mempunyai kelebihannya masing-masing. Aku memang punya sayap yang berwarna-warni, itu kelebihanku. Tapi bukan berarti aku lebih baik darimu.” Pupu kembali menghibur sahabatnya itu.
Tiba-tiba dari atas mereka terdengar suara yang keras menderu-deru. Sebuah benda melintas.
“Apa itu?” Ipung terkejut. “Ayo kita ikuti dia!” Ajaknya. Ia langsung melesat pergi, sementara Pupu tertinggal di belakang.
Pupu terengah-engah memanggil, “Ipung! Tunggu aku! Tuh kan, aku kalah cepat denganmu. Terbangmu cepat sekali. Kelebihanmu itu harus disyukuri.” Kata Pupu sambil berusaha mengatur napasnya.
Ipung tersenyum. “Hehe, maaf. Aku takut kehilangan jejak benda itu, jadi aku ngebut.” Ujarnya sambil tertawa.
“Itu helikopter, buatan manusia.” Pupu menjelaskan. Setelah mengamati dengan seksama, ia kembali berkata, “Ipung, bentuk helikopter itu hampir sama dengan bentuk tubuhmu. Coba kau perhatikan! Kepalanya besar seperti kepalamu, ekornya ramping seperti ekormu.”
“Benar juga.” Ipung pun penasaran. “Tapi mengapa manusia meniru bentuk tubuhku?”
“Karena kamu punya kemampuan terbang lebih cepat dari serangga yang lain. Manusia-manusia itu ingin lebih cepat sampai ke tempat tujuan.” Pupu menerangkan.

Ipung mengangguk dan makin menyadari kelebihannya. “Terima kasih, Pupu. Karena kamu, aku sekarang tahu bahwa setiap makhluk diberi kelebihan oleh Tuhan. Sekarang aku akan lebih banyak bersyukur.” Ipung tersenyum sambil menggandeng sahabat baiknya itu.
Read More

Paman Octo, Si Seram Suka Sampah

Sunday, December 22, 2013

Di sebuah belantara laut, tinggallah seekor gurita berwarna merah bernama Paman Octo. Di mata Ubit si ikan badut dan kawan-kawannya, Paman Octo terkenal galak dan tak ramah. Karenanya, mereka takut untuk menyapa apabila bertemu dengannya. Saat pulang sekolah pun, mereka sengaja mengambil jalan lain, asalkan tidak melewati rumahnya. Pernah suatu hari Ubit dan kawan-kawan dimarahi oleh Paman Octo ketika bermain di halaman rumahnya.
“Pergi kalian! Jangan main di depan rumahku! Kalian hanya bisa mengotori halamanku saja.” Teriakan Paman Octo saat itu terngiang-ngiang di benak Ubit.

Suatu hari, Ubit dan kawan-kawan diminta Pak Guru untuk mengantar surat kepada Paman Octo. “Ubit, tolong antarkan surat ini ke rumah Paman Octo ya. Sekolah kita akan mengadakan kegiatan yang melibatkan Paman Octo sebagai pembimbing.”
“Baik, Pak.” Jawab Ubit. Ia membalikkan badan ke arah kawan-kawannya dengan lunglai, bingung harus bagaimana. Biasanya ia melakukan perintah Pak Guru dengan senang hati, tapi kali ini berbeda. Ia tak mungkin membantah perintah itu, tapi tak mungkin juga menemui Paman Octo di rumahnya. Ia takut kena marah lagi.
Mereka pun berunding. Mika si ikan kakap berpendapat, “Sudah, kita hadapi saja. Kalau Paman Octo marah kita langsung kabur.” Ubit dan yang lainnya mengangguk.
“Tapi lebih bagus lagi kalau kita meminta maaf terlebih dulu atas kejadian beberapa waktu yang lalu itu.” Sahut Tina si ikan tuna.
“Loh, kenapa kita yang minta maaf duluan? Kan belum tentu kita yang salah.” Mika ini agak ngeyel rupanya.
“Siapa tahu kita memang salah, tapi kita tidak tahu letak kesalahan kita dimana.” Tina kembali menjelaskan.
“Oke deh kalau begitu.” Mika akhirnya setuju.
“Kalau begitu, ayo kita ke rumah Paman Octo sekarang!” ajak Ubit.

Tok tok tok… Ubit mengetuk pintu perlahan.
Tok tok tok… Diulanginya lagi untuk kedua kali. Sesaat kemudian terdengar suara dari dalam.
“Siapa?” Tanya suara itu. Ubit gemetar. Suara itu adalah suara Paman Octo.
“S s s saya Ubit, Paman. Mau mengantar surat dari Pak Guru.”
Paman Ubit membuka pintunya lalu menyilakan Ubit dan kawan-kawannya masuk. Ubit segera menyerahkan surat yang ia maksud. “Ini Paman, titipan dari Pak Guru.” Paman Octo membukanya. “Kata beliau, Paman Octo akan menjadi pembimbing di kegiatan sekolah, betulkah itu?” Tanya Ubit memberanikan diri.
Paman Octo memandang ke arahnya, diam. Beliau menyamankan posisi duduknya lalu menjawab, “Iya. Kemarin Pak Guru sudah menemui Paman dan membicaraan hal ini.”
“Oya Paman, sebelumnya kami ingin meminta maaf atas kejadian beberapa waktu lalu ketika kami bermain di halaman rumah Paman.” Ucap Tina. Ia memang bisa diandalkan untuk urusan ini. Sikapnya yang santun membuat Paman Octo tak terlihat galak lagi.
“Iya, Paman maafkan. Ini juga yang nanti akan Paman sampaikan di sekolah kalian.” Paman Octo berlalu mengambil sebuah kantong plastik. Ubit dan kawan-kawannya penasaran tentang isi kantong itu.
“Kalian tahu tidak mengapa saat itu Paman marah pada kalian?” Semua menggeleng. Paman Octo mulai mengeluarkan semua isi kantong plastik itu, dan itu membuat mereka tercengang.
“Ahhh.. Iya Paman. Kami sekarang sudah tahu letak kesalahan kami.” Ujar Mika sambil menepuk jidatnya.
Paman Octo tersenyum. “Kalian tahu? Setiap hari Paman memunguti sampah-sampah ini. Paman membaginya menjadi dua jenis. Sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik paman taruh di sebuah wadah untuk dijadikan makanan bagi teman-teman kecil kita yang lainnya, contohnya udang. Sampah anorganik seperti kaleng minuman ini Paman olah lagi menjadi sesuatu yang bermanfaat.”
“Untung ada Paman Octo ya.” Ucap Ubit sambil berbinar.
“Tapi Paman tidak bisa sendirian. Paman membutuhkan bantuan dari kalian. Kalian lihat, sampah semakin hari semakin tidak terkendali jumlahnya. Ajaklah teman-temanmu untuk mencintai laut kita, tempat hidup kita. Mintalah mereka agar tidak membuang sampah sembarangan. Kalian tentu tidak mau meminum air yang kotor dan berbau, bukan?”
Ubit dan kawan-kawan mengangguk setuju. “Siap Paman!” mereka serentak berteriak semangat.
“Bagus!” Paman Octo tersenyum lebar.
“Ternyata Paman Octo tidak seseram yang kita bayangkan ya?” Tina berseloroh. Semua tertawa.

Tibalah hari yang dinantikan. Paman Octo datang ke sekolah dengan membawa beberapa perlengkapan. Ubit dan kawan-kawan menyambutnya dan membantunya membawa perlengkapan itu.
Paman Octo membagi banyak sekali ilmu dan pengetahuan yang ia punya dalam kegiatan ini. “Anak-anak, ini adalah beberapa benda yang Paman buat dari kaleng minuman. Ada celengan, kotak surat, tempat pensil, mobil-mobilan dan sebagainya. Jadi mulai saat ini, jangan membuang sampah di sembarang tempat ya… Mari kita jaga laut kita agar tetap bersih, supaya air yang kita minum juga menyehatkan tubuh kita. Setuju?”
“Setuju!!” semua murid kompak menjawab.
Di akhir acara, Paman Octo berterima kasih pada Ubit dan kawan-kawan yang telah membantunya. Beliau mengangkat mereka sebagai “Prajurit Pecinta Kebersihan".
Read More