Disclosure

Monday, February 19, 2018


Ah ya, sebelumnya mau umumkan dulu, ini adalah tulisan pertama setelah abiyumahya.blogspot.com berubah nama menjadi mamakepiting.com. Mengapa berubah? Abiyu Mahya adalah nama Mas Amay, dan karena Mama ingin menjadi mama yang adil, akhirnya nama blog ini diubah menjadi mamakepiting.com agar tak canggung lagi ketika ingin menuliskan tentang keseharian Adek Aga. 

Ini sebagai bukti bahwa meski anak Mama ada dua, tapi cinta dan kasih Mama pada kalian berdua, sama besarnya. Hehehe.. 

Oya, mungkin ada yang bertanya-tanya, kenapa blognya dinamakan mamakepiting.com? Jawabannya adalah karena Mama lahir di bulan Juni dan zodiaknya adalah cancer. Dan karena Mama ini orang cancer, Mama mewarisi sifat kepiting yang keras di luar, tapi lembut di dalam. :D

Ya, walaupun Mama galak, tapi Mama penuh kasih sayang. Hehe...

Sebagai informasi, Mama Kepiting punya blog lain lho, dan sudah lebih dulu eksis di sana, yakni kayusirih.com

Dan kalau dulu Mama sudah dikenal sebagai blogger kayusirih, sekarang Mama punya nama samaran lain, yaitu Mama Kepiting. Hihi..

Akhir kata, semoga teman-teman bisa memetik manfaat dari Mama Kepiting yaa.. ☺☺









Read More

Mengajari Anak Jajan, Apakah Terlarang?

Monday, February 12, 2018

Saya termasuk orang tua yang tidak membiasakan anak jajan sembarangan, apalagi belanja ke warung sendirian. Anak saya pun tumbuh menjadi anak yang tak terlalu merepotkan, karena mereka bukan tipe anak yang tiap kali melihat pedagang lewat di depan rumah, merengek minta dibelikan. Alhamdulillah, pengeluaran harian jadi lebih hemat. Tapi kemudian ada hal yang membuat saya menyesal, mengapa tidak memperkenalkan nilai uang sejak dini?

Orang tua mana yang ingin anaknya boros? Orang tua mana yang nggak ingin anaknya anteng, puas dengan masakan rumah, tidak terbiasa minta uang untuk jajan? Makanya, menyadari bahwa mencari uang tidaklah mudah, saya pun tak membiasakan anak-anak jajan.

Anak-anak bukannya tak pernah jajan, ya... Jajan, tapi sekedarnya saja. Misalnya, saat saya harus ke minimarket atau ke toko dekat rumah untuk membeli sesuatu, kemudian anak-anak ikut serta, maka es krim, susu, biskuit atau makanan kecil lainnya, pasti menarik perhatian mereka.

Ya, mereka hanya jajan di momen ketika ada saya atau papanya atau tantenya yang menemani. Mereka bukan tipe yang minta uang, kemudian pergi jajan sendiri.

Kelihatannya menyenangkan, ya?

Di satu sisi, ini adalah hal yang sangat positif. Banyak orang tua yang menginginkan demikian, karena pengeluaran bisa terkontrol, anak pun tak akan jajan sembarangan. Tapi di sisi lain, saya agak menyesal. Kenapa?

Begini ceritanya,
Amay, sulung saya, tahun ini sudah menjadi anak SD. Sekolahnya lumayan jauh dari rumah. Karena sekolah Amay berakhir pukul 13:15, maka memberikan uang jajan menjadi hal yang wajar, meski sudah ada catering di jam istirahat ke dua. 

Awal-awal Amay masuk kelas 1, saya sempat stres.

Amay belum tahu nilai uang.

Jangankan tahu harga makanan yang dia inginkan, belinya pakai uang yang warna apa, kemudian ada kembalian atau tidak, Amay sama sekali belum paham.

Saat mengantarnya di hari pertama, saya memintanya membeli susu. Ia saya bekali uang 5K. Begitu ia kembali, ia hanya membawa sekotak susu ukuran kecil tanpa kembalian, padahal harganya adalah 2,5K. Akhirnya, sampai di rumah, Amay saya jejali dengan pengetahuan tentang nilai uang, harga jajanan yang mungkin ia beli nanti, bagaimana jika membeli dengan uang 5K sementara harganya cuma 2K, bagaimana meminta kembalian, dll. 

Dan itu takes time banget, nggak cukup hanya seminggu-dua minggu. Setiap hari pun saya harus “menginterogasi” apa saja yang dibelinya, bagaimana dia membayarnya, dan lain sebagainya, untuk make sure saja, apakah dia sudah membelanjakan uang sakunya dengan tepat. 

Repot banget.

recehan sisa uang jajan ditabung. sumber: kayusirih.com

Cerita di atas tadi adalah satu poin yang menjadi alasan penyesalan saya mengapa tidak mengenalkan nilai uang sejak dini pada Amay.

Penyesalan lainnya adalah ketika lebaran anak-anak mendapatkan angpao, lalu mereka abai dengan uang yang mereka miliki. Bukan hanya “eman-eman” atau sayang jika uangnya hilang, tapi lebih dari itu, abai dengan pemberian orang tentu akan membuat sedih pemberinya, bukan? Berapapun besarnya, sedikit atau banyak, tentu harus dihargai.

Nah, jadi kesimpulan saya; Ajarkan anak jajan supaya ia paham dengan nilai uang, disamping itu, bimbing mereka untuk membelanjakannya dengan cermat. Seperti pesan Eyang Titiek Puspa,

Jajan sih, boleh saja
Sisihkan buat nabung
Belanja sih, boleh saja
Tak lupa,nabung


Read More

Membuat Puding Puyo

Wednesday, January 10, 2018

Menjelang libur semester kemarin, Mas Amay dan Mama beraksi di dapur lagi. Kayaknya udah lamaaaa banget Mas Amay nggak diajak bantu-bantu Mama membuat sesuatu. Padahal dulu Mama rajin banget bikin kue kesukaan Mas Amay. 

Cake Cokelat Klasik ini contohnya. Kalau Mama membuatnya, Mas Amay lah yang biasa diminta menakar tepung dan gula pasirnya. Hmmm...walaupun pernah bantat, tapi tetap enak dan Mas Amay tetap suka.

Mungkin karena sekarang ada Adek Aga, jadi Mama agak kerepotan kalau harus membuat makanan seperti dulu lagi. Malahan pernah, Mas Amay marah karena tidak diajak membantu Mama memasak. Padahal Mas Amay ingin membantu, tapi malah ditinggal. Alasannya sih, mumpung Adek Aga tidur jadi Mama terburu-buru.

Tapi Mas Amay mengerti koq. Makanya ketika Mama mengajak Mas Amay membuat Puding Puyo, Mas Amay bersemangat sekali. Pulang sekolah, Mama menjemput Mas Amay, lalu kita mampir ke toko untuk membeli bahan-bahannya.

Bahan-bahan membuat Puding Puyo ala kami, diantaranya:
1. Nutrijell rasa kelapa. Mama memakai 2 bungkus, karena ukurannya kecil. 
2. 1 kaleng susu kental manis warna putih.
3. 1 sdm tepung maizena.
4. 1 liter air putih.

Membuat Puding Puyo

Caranya gampaaang banget. 
- Pertama, Mama mencampur bubuk Nutrijell dengan tepung maizena, langsung di panci yang akan digunakan untuk memasak.
- Selanjutnya, Mama menuangkan susunya. Tidak lupa, sisa susu di kaleng, dilarutkan dengan air yang telah disediakan.
- Tuang sisa air tadi ke dalam panci ya... 
- Nyalakan kompor, masak puding dengan api kecil.
- Sudah, tunggu sampai mendidih yaa.. 
- Kalau sudah mendidih, matikan api, lalu masukkan puding ke dalam cetakan. Kalau uap panasnya sudah mulai hilang, masukkan ke dalam kulkas. Puding akan semakin nikmat ketika disantap setelah dingin.

Puding Puyo

Caranya gampang kan? Rasanya juga enak. Pudingnya kayak degan, lezaaat. Mas Amay yakin, Mas Amay bisa membuatnya lagi nanti, ya meskipun saat mengaduk pudingnya, rasanya tangan Mas Amay hampir terbakar karena panas, sih. 

Teman-teman, coba juga yuk! Tapi ingat ya, kalau menyalakan kompor harus dengan sepengetahuan Mama atau orang dewasa lainnya.

Selamat mencoba... 
Read More

Outbond di Anava, Tlatar, Boyolali

Thursday, January 4, 2018

Tanggal 12 Desember 2017 yang lalu, Mas Amay dan seluruh teman-teman kelas 1, mengikuti Outbond di Anava, Tlatar, Boyolali. Mas Amay diantar Mama dan Adek Aga. Sebenarnya Mama takut repot kalau bawa Adek Aga, tapi karena Papa malu kalau nanti jadi bapak-bapak sendiri, makanya Mama yang antar. Alhamdulillah, Mama bahagia karena bisa bertemu dengan ibu-ibu lainnya. Kekhawatiran Mama kalau Adek Aga akan rewel, tidak terbukti.

Memang, Adek Aga nggak bisa diam. Bahkan, Adek Aga ingin selalu ikut bermain bersama Mas Amay dan teman-teman Mas Amay. Tapi kan nggak boleh, jadi Adek Aga cuma lihat aja. Dan karena Mama harus membuntuti Adek Aga, Mama jadi nggak bisa ikut pengajian dan ramah tamah dengan Bu Guru dan ibu-ibu lainnya.

Tapi nggak apa-apa deh. Malahan, Mama jadi bisa ambil banyak foto kan.. 😁😁



Di Anava, memang terdapat kolam renang berstandar Nasional. Tapi Mas Amay dan teman-teman berenang di kolam renang yang khusus untuk anak-anak, yang tidak terlalu dalam. Kolam renangnya bersih lho. Kamar mandi untuk membilasnya juga. Airnya pun dingin. Segaaaarrr...

Oya, saat outbond ini, Mas Amay dan teman-teman dibimbing oleh kakak-kakak dari Lembaga Psikologi Anava. Ada 7 permainan seru yang kami lakukan bersama.

1. Flying Fox
Ini yang paling seru. Mas Amay sampai bilang sama Mama, ingin mengulang flying fox lagi. Mas Amay punya ide, bagaimana kalau kita menanam dua buah pohon, lalu nanti setelah besar, kita pasang tali di sana untuk meluncur. Keren kan idenya? Tapi ketika Mas Amay menyampaikan ide itu, Mama malah tertawa. 😂😂😂

Alhamdulillah, waktu liburan ke Bandung kemarin, Mas Amay bisa main flying fox lagi di Floating Market, Lembang.

Nanti baca cerita Mama yang ini ya: Family Trip II; Floating Market, Lembang

2. Meniup Gelas Plastik
Oya, Mas Amay dan teman-teman dibagi menjadi beberapa kelompok. Mas Amay sendiri ikut kelompok abu-abu. Nah, kelompok abu-abu dan kelompok orens bertanding. Kelompok yang lain juga sama, ada lawannya sendiri-sendiri. Saat meniup gelas plastik sambil merangkak ini, kelompok Mas Amay menang lho... Tapi, Mas Amay kalah waktu lawan Hafiz dari kelompok orens.



3. Mengambil Air Memakai Gelas Bocor
Mama nggak lihat permainan ini, jadi nggak ada fotonya. Mas Amay jelasin ke Mama tapi Mama nggak ngerti-ngerti juga. Huh!

4. Menanam Padi di Sawah
Baru kali ini Mas Amay menginjak lumpur. Rasanya geli. Mas Amay suka sekali waktu mengangkat kaki, eh, kakinya Mas Amay penuh lumpur. Di dalam lumpur susah banget jalannya.

menanam padi di outbond Anava, Tlatar, Boyolali
Salut deh sama Pak Tani dan Bu Tani yang setiap hari berjuang di lumpur untuk bisa menanam padi, agar kebutuhan makanan kita tetap bisa terpenuhi.

5. Menangkap Ikan
Mas Amay bisa lho menangkap beberapa ekor ikan yang disebarkan sama kakak-kakak. Tapi waktu Mas Amay tangkap ikannya, tangan Mas Amay sempat kena durinya. Duh, perih banget. Tapi Mas Amay nggak kapok koq. Mas Amay masukkan ikan-ikan itu ke dalam plastik, lalu Mas Amay kasihkan ke Mama. Tapi karena Mama sibuk mengurusi Adek Aga yang berenang dan nggak mau selesai-selesai berenangnya, ikan yang Mas Amay kumpulkan hilang deh. Nggak tau siapa yang ambil.

Terus, Mama nyuruh Mas Amay kembali lagi ke kolam dan menangkap ikan yang baru. Alhamdulillah dapat lagi buat dibawa pulang. Tapi, ikan-ikannya pada mati. Sekarang, ikannya cuma tinggal 1 ekor di rumah.

6. Berjalan di Atas Kayu (Meniti)
Ini agak susah. Mas Amay takut banget jatuh ke lumpur. Tapi Alhamdulillah Mas Amay berhasil.


outbond Anava. berjalan di atas kayu.

7. Berenang
Mas Amay suka sekali berenang. Setelah bermain dengan lumpur, Mas Amay dan teman-teman langsung nyemplung ke air. Mas Amay juga bermain perosotan. Ada anak yang menangis karena nggak sengaja kepleset terus jatuh. Mas Amay sih sudah bisa berenang sedikit-sedikit. Mas Amay senaaaang sekali berenang di tempat ini.

Nah, ini cerita Mas Amay kali ini. Nantikan cerita selanjutnya yaa.. Byeeee...
Read More

Mimpi di Siang Bolong

Tuesday, January 2, 2018

Hari ini tumben Mas Amay tidur siang. Mungkin karena habis dimarahi Mama yaa, hehe... Habisnya, Mas Amay dan Adek Aga beranteeem aja. Ceritanya, Adek Aga mau kasih makan ikan yang Mas Amay dapat dari outbond 12 Desember lalu. Tapi, ngasih makannya pakai daun cabe yang Mama tanam. Mas Amay marah, ngasih tau kalau ngasih makan ikan bukan pakai daun, tapi Adek Aga ngeyel.

Dan sudah bisa ditebak kan akhirnya gimana? Adek Aga teriak, Mas Amay marah-marah. Mama pusing dong, dibilangin pelan-pelan nggak bisa. Pakai ilmu diam, Amaynya lapooorrrr aja, "Ini lho Ma, adeknya!" gitu melulu. 

Akhirnya pakai jurus terakhir, ancaman! Mama nggak teriak koq, cuma ngancam. Hahaha, sama aja yaa... Gini nih, "Kalau masih pada berantem, Mama mau pergi berdua aja sama Papa. Lanjutin ya berantemnya, sampai puas!" Gitu. Trus pada nangis dong dua-duanya.

Lalu Mama pun bertitah, "Cuci tangan sini, habis itu tidur!" 

Dan mereka pun pergi tidur. Hasilnya, Mas Amay bermimpi dan jadilah cerita ini.



Mimpi:  aku bertemu kelinci

1. aku melihat terowongan yang sempit banget

2. terus aku masuk ke terowongan itu

3. terowongan itu panjang sekali

4. sudah sampai aku kaget

5. kelinci-kelinci itu banyak sekali

6. aku balik lagi aku melihat satu kelinci

7. kelinci itu kelaparan

8. terus aku berikan rumput dan wortel

9. terus dia menangis mau ke ibunya

10. kuantar dia ke tempatnya dia berhenti nangis

11. dia bahagia kubawa ke truk, dia kelaparan

12. dia kubebaskan


Mungkin ada yang bingung ya dengan endingnya, tapi ini cerita yang ditulis Mas Amay sendiri, tanpa intervensi Mama. :)
Read More

Ada Ular di Rumah Kantor

Monday, November 13, 2017






Judul: Papa Ngelawan Ular

1. Mas Amay habis mau keluar ada ular
2. Mas Amay manggil papa
3. Ularnya lagi makan cicak
4. Ularnya diserang papa pakai pengki sama sapu
5. Papa nolong Mas Amay
6. Papa nolongin Mas Amay, nyuruh Mas Amay ambilin HP
7. Papa nyuruh Mas Amay HPnya diterangin
8. Papa masukin ularnya ke selokan / got
9. Mas Amay disuruh buangin sampah
1O. Kata papa, hati-hati nanti ularnya ke atas lagi

Selesai / Tamat

-------------------------------------------------------------------------------------------------

Tadi siang sepulang sekolah, Amay tiba-tiba menggambar pengalaman kemarin saat bermain ke studio Akanoma sama papanya. Kemarin, hari minggu tanggal 12 November, memang ada ular makan cicak di kantor. Kejadiannya saat maghrib. Apa yang digambarkan dan diceritakan Amay di sini memang menceritakan kronologi kejadian. 
Papanya menggunakan sapu dan pengki untuk membuang -Amay bilang, menyerang- si ular. Ular tidak dibunuh, makanya saat Amay disuruh membuang sampah, papanya berpesan untuk hati-hati. FYI, Mas Yopi memang jarang banget bunuh binatang, kecuali nyamuk. Bahkan pernah ngga sengaja bikin tikus mati, istighfarnya berkali-kali. Hahaha...
Read More

Petasan

Tuesday, May 23, 2017

Bulan Ramadhan belum juga datang, tapi bunyi petasan sudah terdengar bahkan sejak berminggu yang lalu. Bunyinya yang menggelegar, terus terang saja sangat mengganggu saya. Kadang kaget mendengar suara kerasnya yang muncul tiba-tiba, kadang juga ada rasa takut saat melihat sekumpulan anak membawa petasan-petasan yang siap diledakkan. Saya takut, anak-anak itu iseng menyalakannya tepat saat saya melewati mereka.

Yah, anak-anak seperti itu kan senang kalau ada orang lain yang dikagetkan. Rasanya mungkin sangat memuaskan. Saya sangat benci dengan benda ini, dan jadi sebal dengan mereka yang menyalakannya hanya demi kepuasan pribadi, tanpa peduli keselamatan orang lain, bahkan keselamatan diri sendiri.

petasan. foto diambil dari Regional Kompas.


**
Suatu hari, segerombolan anak itu menyalakan petasan di dekat rumah. Sekelompok di sebelah utara, dan kelompok lainnya di selatan. Mereka menyalakannya bergantian. Setelah petasan dari utara berdentum, kelompok selatan menyalakan bagian mereka. Begitu terus hingga beberapa kali.

Saya sempat minta Papa Amay untuk keluar dan menasehati anak-anak itu, tapi karena mereka sudah berhenti menyalakannya, jadi Papa Amay mengurungkan niatnya.

Entah, apa yang dipikirkan anak-anak itu, dan bagaimana orang tua mereka menyikapinya. Apakah mereka mengijinkan uang jajan yang mereka berikan digunakan untuk membeli petasan? Atau memang sengaja memberi uang untuk ini? Biar rame gitu... 

Persetan dengan mereka yang membiarkan anaknya bermain petasan dengan alasan supaya anaknya senang. Hellooow, emang nggak ada cara lain untuk bersenang-senang? Saya sih menganggap orang yang main petasan sama dengan orang yang nggak bisa menahan nafsu. “Yang penting bahagia” kata mereka, tapi mereka menghalalkan segala cara untuk bisa bahagia. Mereka masa bodoh dengan orang lain yang keberisikan, yang terganggu dengan suara jedar-jeder yang bikin jantungan.

Selain saya, tentu saja ada orang lain yang terganggu. Tepat di belakang rumah saya, ada bayi berusia 2 bulan yang saat itu menangis keras. Mungkin karena terkejut. Amay saat itu langsung berkomentar, “Itu adiknya kaget ya, Ma?” Saya mengangguk. Yah, meski bayi punya banyak alasan untuk menangis, tapi bisa jadi dia menangis karena terkejut dengan bunyi petasan kan?

Saya pun mulai bediskusi dengan Amay. Saya pikir, ini saat yang tepat untuk mengajaknya berpikir, kemudian memilih dan membedakan mana yang baik dan benar, dan mana yang salah.

“Menurut Mas Amay, orang yang main petasan itu gimana sih?” tanya saya.

“Ya mengganggu. Main petasan kan bikin kaget.” Jawabnya.

“Nah, itu! Mas Amay tahu nggak, kalau orang yang suka mengganggu tetangganya itu nggak akan masuk surga? Mereka dengan tangannya, membuat tetangganya merasa tidak nyaman. Ada bayi sampe nangis. Coba kalau ada yang sakit jantung, lalu meninggal karena kaget, gimana?” Wah, Emak ngoceh panjang kali lebar. Emosiiih.

Saya mengatakan itu bukan tanpa dasar. Ada sebuah hadits shahih yang berbunyi: "Seorang yang senantiasa mengganggu tetangganya niscaya tidak akan masuk surga." --> Lihat As Silsilah Ash Shahihah 549: [Muslim: 1-Kitabul Iman, hal. 73]

“Yang kedua. Main petasan itu mubadzir. Udah bikin kaget, uangnya dibakar untuk hal yang sia-sia dan nggak ada manfaatnya. Mending uangnya buat yang lain yang lebih bermanfaat, ya kan?” Tambah saya.



“Yang ketiga. Main petasan itu bahaya. Nggak cuma bahaya untuk diri sendiri tapi juga bisa membahayakan orang lain.” Kata saya. Saya lalu menceritakan kisah seorang saudara saya di Purworejo, yang harus kehilangan telapak tangannya karena petasan. Ini asli, bukan cerita bohong. Saat itu saya masih SD. Pulang sekolah, ibu cerita kalau baru pulang dari rumah sakit, menjenguk saudara saya itu. Umurnya nggak jauh beda dengan saya. Ibu bilang, tangan kanannya harus dipotong, dan saat ibu saya menjenguknya, dia sedang berlatih menulis dengan tangan kiri.
Ya, seperti itulah.

“Trus Ma, yang keempat apa?” tanya Amay.

Mama menjawab, "Udah cukup tiga aja! Pokoknya main petasan nggak ada gunanya."


Read More

Amay Membuat Miniatur Rumah Adat Bersama Papa

Thursday, April 20, 2017

Seminggu yang lalu, ada surat pemberitahuan dari sekolah, bahwa seluruh siswa wajib membuat miniatur rumah adat untuk dilombakan pada tanggal 21 April. Jum'at, 21 April ini bertepatan dengan puncak tema "Tanah Airku", dan rumah adat hasil karya kerjasama antara orang tua dan anak itu, wajib dikumpulkan sehari sebelumnya.

Sejak menerima surat itu, Papa Amay mulai memikirkan, rumah adat daerah mana yang akan dibuatnya. Mama mengusulkan, rumah Honai saja, yang unik. Tapi setelah Papa menunjukkan beberapa rumah adat, Amay memutuskan untuk membuat rumah Bolon. Rumah Bolon adalah rumah adat Suku Batak yang berasal dari Sumatera Utara.

Iya, Rumah Bolon ini adalah rumah pilihan Amay sendiri. Papa Amay tinggal membantu membuatkan konsepnya, dan mengerjakan hal-hal yang belum bisa Amay lakukan sendiri, seperti memotong kertas yellow board.

Kerjasama pun dimulai. Sementara Papa mengelem kertas yellow board menjadi dinding-dinding rumah, Amay menggunting kertas kokoru yang akan dipakai untuk atap. Kertasnya warna-warni, supaya cerah ceria, hihihi... Lagipula, genting atau atap tidak harus coklat kan? Terserah Amay saja, gimana bagusnya. Hehehe...

Amay pun menggambar kerbau dan orang dengan pakaian adat Batak Toba, dan Papa kemudian menempelkannya sebagai ornamen yang menggambarkan skala dan proporsi. Kenapa kerbau? Karena kerbau adalah binatang yang paling banyak dipelihara oleh masyarakat Batak disana. 

Dan ini adalah proes pembuatan miniatur rumah Bolon tersebut. Amay and Papa, you did a great job!









Read More

Tentang Q.S. Al-Ghosyiyah

Sunday, December 4, 2016

Besok Mas Amay akan menghadapi EAS atau Evaluasi Akhir Semester. Jadwalnya adalah, menghafal Surah Al- Ghasyiyah, dan beberapa tes lainnya seperti melengkapi huruf pada kata.

Sebenarnya saya bukan tipe ibu yang menuntut anaknya bisa ini itu. Toh tujuan awal menyekolahkan Amay adalah agar ia pandai bersosialisasi. Kebetulan juga saat itu Amay mulai jenuh di rumah, karena perhatian saya lebih banyak untuk Aga yang kala itu masih bayi.

Tapi kali ini, karena saya pun berkeinginan untuk menghafal Surah Al-Ghasyiyah itu (iya, setua ini, saya belum hafal juz 30, hiks), saya pun mengajak Mas Amay menghafal bersama-sama. Jika sebelum-sebelumnya kami hanya muroja'ah sebelum tidur (karena surah-surah sebelumnya insya Allah sudah saya hafal), kali ini saya mulai dari awal. 

Saya yang tipe visual, dan akan mengingat jika sudah kembali menuliskan ulang, pun menulis ulang surah itu. Untuk saya, mendengar murotalnya saja tak cukup. Amay juga sepertinya begitu. Dia lebih mudah menghafal beberapa ayat sekaligus, melalui tulisan tangan saya di kertas. Alhamdulillah, Amay sudah iqro' 5, jadi sedikit-sedikit sudah bisa membaca Al-Qur'an.

Hafalan pun dimulai. Dua hari ini, saya dan Amay baru hafal sekitar 16 ayat, padahal surah Al Ghasyiyah terdiri dari 26 ayat. Perkara besok Amay belum lulus hafalan ini, tak jadi masalah untuk saya. Yang penting, insya Allah mulai saat ini, saya akan rutin menghafal surah di juz 30 bersama-sama Amay. Kita berjuang bersama-sama, ya, Mas.. ☺

Q.S Al-Ghasyiyah dari https://www.youtube.com/watch?v=_41rBOEtqSo

Dan ketika membaca arti dari surah yang kami hafalkan ini, mata saya berair. Apalagi ketika membaca arti dari ayat 1 hingga 7. Ya Allah, rasanya hamba tak akan sanggup jika Engkau tempatkan hamba di neraka-Mu. Mohon jauhkan tempat itu dari hamba, Ya Rabb... Meski untuk mencium surga pun hamba sungguh tak layak. Sangat tak layak.

Inilah arti Surah Al-Ghasyiyah yang menggetarkan hati saya:
1. Sudahkah sampai kepadamu berita tentang hari Kiamat?
2. Pada hari itu banyak wajah yang tertunduk terhina, 
3. (karena) bekerja keras lagi kepayahan,
4. mereka memasuki api yang sangat panas (neraka),
5. diberi minum dari sumber mata air yang sangat panas.
6. Tidak ada makanan bagi mereka selain dari pohon yang berduri,
7. yang tidak menggemukkan dan tidak menghilangkan lapar.
8. Pada hari itu banyak (pula) wajah yang berseri-seri,
9. merasa senang karena usahanya (sendiri),
10. (mereka) dalam surga yang tinggi,
11. disana (kamu) tidak mendengar perkataan yang tidak berguna.
12. Disana ada mata air yang mengalir.
13. Disana ada dipan-dipan yang ditinggikan,
14. dan gelas-gelas yang tersedia (di dekatnya),
15. dan bantal-bantal sandaran yang tersusun,
16. dan permadani-permadani yang terhampar.
17. Maka tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana diciptakan?
18. Dan langit, bagaimana ditinggikan?
19. Dan gunung-gunung bagaimana ditegakkan?
20. Dan bumi bagaimana dihamparkan?
21. Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah pemberi peringatan.
22. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka,
23. kecuali (jika ada) orang yang berpaling dan kafir,
24. maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang besar.
25. Sungguh, kepada Kamilah mereka kembali,
26. kemudian sesungguhnya (kewajiban) Kamilah membuat perhitungan atas mereka.


Read More

[Dongeng] Antar Aku Pulang

Wednesday, October 19, 2016

Hallooo, sudah tanggal 19. BloggerKAH datang lagi nih... Kali ini kami menguji diri sendiri dengan mencoba membuat sebuah cerpen anak. Baru belajar, jadi kalau kurang bagus jangan dibully yaa... Bikin cernak itu ngga mudah lho! Hayo siapa kemarin yang bilang kalau bikin cernak itu guampiiil? Woh...cobaen sana!

Bikin cernak itu harus memperhatikan tata bahasa, kira-kira target pembacanya usia berapa. Jangan sampai, cernak untuk anak balita, bahasanya seperti untuk anak SD, misalnya. Ini sih, kata cikgu-cikgu saya yaa... Selain itu, harus ada pesan moral atau nasihat yang bisa diambil. Nah ini, saya terkadang menggunakan cerita fiksi untuk menyampaikan sesuatu pada Amay. Dan biasanya Amay akan lebih mengingatnya dibanding ketika saya "berceramah".

Oke, ngga usah panjang lebar lagi, teman-teman bisa baca cerita Mommy Han aka Rani R Tyas disini
Cerita Mommy K, aka Mbak Widut, disini
Dan blogger tamu kita, Mbak Irawati Hamid, disini

Please, enjoy our story :) 




ilustrasi cerpen "Antar Aku Pulang" by Yopie Herdiansyah


Antar Aku Pulang


Di sebuah ladang, tampak ibu kelinci dan anaknya sedang memanen wortel. Obit, nama anak kelinci itu, terlihat sangat gembira.

“Ibu, nanti aku mau makan yang ini, ini, dan juga yang ini!” Mata Obit berbinar, sementara jarinya sibuk menunjuk wortel yang berukuran besar.
“Boleh.” Kata ibu. “ Tapi, bantu ibu memasukkan wortel-wortel ini ke keranjang ya...”
“Siap!” Ia kemudian melakukan seperti yang diperintahkan ibunya. 
“Nah, sudah selesai.” Ujarnya girang, saat ia berhasil menyelesaikan tugasnya.
“Wah, pintar! Terima kasih, sayang. Ibu akan mencuci wortel-wortel ini di sungai.” kata ibu.
“Mmm...sekarang, aku boleh main?” tanya Obit.
Ibu  mengijinkan, tetapi dengan satu syarat. “Jangan lama-lama ya, sebentar lagi malam datang.”
“Baik, Bu.” Obit pun melompat-lompat kesana kemari, sambil bernyanyi tralala trilili.

Tiba-tiba, ia mendengar seseorang ikut bernyanyi. Rupanya, itu adalah suara seekor burung pipit.  “Hai, aku Ipit.” Sapa burung itu.
“Hai, aku Obit.” Jawab Obit sambil tersenyum.
Setelah perkenalan itu, Ipit dan Obit pun berbincang dengan riang. Sesekali mereka bernyanyi bersama. Mereka membicarakan apa saja, termasuk makanan kesukaan mereka.

“Aku suka makan biji padi. Sayangnya, pak tani sering mengusirku saat aku sedang menikmati makananku. Kalau kamu, suka makan apa?” tanya Ipit.
“Aku suka sekali makan wortel. Tadi aku baru saja memanen wortel di ladang. Sekarang ibuku sedang mencuci wortel-wortel itu di sungai.” 
Tiba-tiba Obit teringat sesuatu, “Ibu!” 
Obit lupa pada pesan ibu. Ia kini kebingungan karena siang telah berganti malam. “Aduh, bagaimana ini? Aku harus pulang, tapi hari sudah gelap.” Obit pun menangis.

Ipit merasa bersalah. Karena dia, kawan barunya ini jadi pulang terlambat. “Tenanglah, Obit. Aku coba cari bantuan dulu, ya...” Ipit lalu mencicit, memanggil kawan-kawannya.
Tak lama kemudian, sekumpulan cahaya datang. Obit terkejut, tak mengira bahwa kawan-kawan Ipit itu adalah sekelompok kunang-kunang. Terbukti bahwa Ipit memang pandai bergaul. Ia punya banyak teman dari berbagai jenis binatang.
“Kawan-kawan, Obit ini kawan baruku. Ia ingin pulang, tapi hari sudah gelap. Ayo kita antarkan dia pulang!” Katanya pada gerombolan kunang-kunang itu. Mereka pun menjawab, “Dengan senang hati.”
“Baiklah, ayo kita berangkat!” ajak Ipit. “Dengan lampu alami di perut kunang-kunang, jalanan akan terlihat terang.” Kata Ipit pada Obit.

Akhirnya, Obit sampai di rumah. Ibu Obit terlihat cemas menunggu anaknya pulang. Namun, rasa cemas itu kini hilang.
“Kemana saja kamu, Nak? Ibu khawatir.”
“Maafkan Obit, Bu. Obit terlalu asik bermain sampai lupa pesan ibu.” Obit mengungkapkan penyesalannya. Ia pun berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.
“Oya, Bu, ini semua kawan baru Obit. Karena mereka Obit bisa pulang.” Obit memperkenalkan burung pipit dan kunang-kunang yang telah mengantarnya.
“Oh... Terima kasih ya Nak, karena kalian telah membantu Obit.” Kata ibu Obit.
“Sama-sama, Bu.” Ipit dan kunang-kunang menjawab serempak.



~-~


Read More

Kematian di Mata Bocah 5 Tahun

Friday, October 7, 2016

Sebelum Amay tidur tadi, kami terlibat sebuah pembicaraan serius. Saya katakan serius karena yang kami bicarakan adalah perihal kematian. Sebelum ini, sebenarnya kami juga pernah berdiskusi tentang “mati”, yang bermula setelah Amay menonton sebuah film.


Waktu itu, Amay tiba-tiba bertanya, "Mama, orang Jepang itu kalau meninggal terus dibakar ya?" setelah menyaksikan film produksi Ghibli itu. Film itu bercerita tentang dua anak korban perang, yang harus rela ditinggalkan oleh ayah dan ibunya. Ayahnya yang seorang Angkatan Laut, tak jelas bagaimana nasibnya, karena ia tak pernah kembali lagi. Sang ibu, mengalami luka bakar serius, hingga akhirnya pergi. 

Pertanyaan Amay di atas terlontar, karena dia menyaksikan bahwa para korban perang yang telah tewas, dikumpulkan dalam satu tempat, kemudian dibakar. 

Setelah mendengar pertanyaannya, saya pun menjawab, "Iya, itu namanya dikremasi."

Amay melanjutkan bertanya, "Kalau nanti Mas Amay meninggal?" dan saya pun menjawab, "Kalau orang Islam, setelah meninggal ya dikubur." (Sewaktu menjawab pertanyaannya saya terus berdo'a, agar Allah berkenan memanjangkan usia kami)

"Di dalam tanah ada apa, Ma? Cacing? Kelabang? Ular?" tanyanya lagi, dan membuat saya bergidik ngeri. Duh Nak, Mama sepertinya belum siap. Mama masih banyak dosa, yang Mama buat lewat mulut, lewat jari, lewat hati, lewat mata, telinga, ahhhh... 

~~~

Dan obrolan kami malam ini, lagi-lagi juga diawali dari sebuah film. Film ini sebenarnya sudah puluhan kali kami tonton bersama, yaitu My Neighbor Totoro.

Ketika masuk di sebuah adegan, tiba-tiba Amay bertanya,

Amay: “Ma, itu Satsuki kenapa nangis?”

Saya: “Karena Satsuki takut kalau nanti ibunya meninggal.” (Ada sebuah scene dimana Satsuki amat bersedih setelah menerima telegram dari Rumah Sakit, yang mengabarkan tentang kondisi terakhir ibunya).  “Kalau nanti Mama meninggal, Mas Amay takut nggak?” tanya saya lagi.

Amay: “Takut. Mama jangan meninggal dulu.”

Saya: “Mama ‘kan nggak tau kapan meninggalnya...”

Amay: “Nanti kalau Mas Amay sudah besar, Mas Amay juga meninggal?”

-Sampai disini, jujur saya gemetar-

Saya: “Meninggal itu nggak harus menunggu besar, Mas. Mau kecil, besar, tua, muda, terserah Allah kapan mau diambil nyawanya. Makanya, setiap hari kita harus berbuat baik, buat tabungan di akhirat. Kalau kita punya salah, nggak boleh malu untuk minta maaf, karena kalau kita sudah minta maaf, insya Allah nanti Allah juga akan memaafkan. Harus sering-sering istighfar. Harus mau berbagi, menabung (saya menggunakan kata ini untuk menyebut infaq dan sedekah), shalat dan ngaji juga nggak boleh malas, karena kita nggak tau kapan kita akan meninggal.” Bla bla bla...

-Sesungguhnya saya sedang mengingatkan diri saya sendiri-

Amay: “Lha adik tadi nggak mau minta maaf koq...(sambil mukanya kelihatan sedih, teringat waktu Aga memukulnya)”

Saya: “Adik Aga ‘kan masih kecil, makanya setiap hari harus kita ajari untuk minta maaf. Mas Amay ‘kan lihat sendiri tadi, Mama nyuruh adik salim sama Mas Amay, ya’kan? Tapi karena adik masih kecil, jadi masih suka lupa, makanya yang besar-besar kayak Mas Amay, Mama, Papa, harus mengingatkan.”

Amay: “Mama, Mas Amay juga tabungannya udah banyak sekali, di masjid. Nanti boleh buat beli apa aja Ma?”

Saya: “Kata siapa banyak? Masih kuraaang...kita perlu tabungan yang buanyaaaakkk buat di akhirat nanti. Lagian tabungannya nggak bisa diambil sekarang, nggak kayak uang Mama yang di ATM. ”

Amay: “Lha kenapa?”

Saya: “Ya itu biar jadi urusan Allah aja, kita nggak usah ingat-ingat berapa tabungan kita.”

-Duh Mas, Mama aja nggak tau, tabungan kita apa cukup buat “membeli” ampunan Allah. Jangankan berpikir buat beli istana di surga, Mama justru khawatir tabungan kita nggak cukup untuk sekedar membayar dosa- 

Amay: “Tapi Mas Amay anak sholih kan?”

Saya: “Asal Mas Amay dengerin Mama, insya Allah Mas Amay jadi anak sholih. Ingat ya, Mas Amay sama adik Aga itu tabungan Mama.”

Lalu Amay mengangguk. Semoga dia paham.





Read More

Karya Perdana Amay yang Muncul di Majalah

Wednesday, September 21, 2016

Hari Jum'at 16 September 2016 kemarin, ustadzah Rohmah mengabari bahwa beliau menemukan sebuah gambar yang dibuat oleh Amay, di dalam sebuah majalah. Wah, terkejut kami dibuatnya.

Sebenarnya gambar itu adalah gambar yang kami kirimkan April lalu, untuk sebuah lomba yang diadakan majalah itu. Tapi, keberuntungan memang belum berpihak pada Amay. Ia belum menang. Memang, gambar-gambar para juara bagus-bagus semua, dan Amay harus berlatih lagi agar bisa menghasilkan karya yang rapi dan lebih kreatif lagi.

Tak apa-apa ya, Nak, kompetisi mengajarkanmu untuk legowo. Papa dan Mama pun sering mengikuti lomba, dan jarang menang juga. Hehe... Maka dari itu, jangan pernah sombong dengan apa yang kamu ketahui atau apa yang kamu miliki, karena disana -di luar sana- banyak sekali orang-orang hebat yang selalu rendah hati. :)

gambar buatan Amay di Majalah

Gambar itu bercerita tentang pengalaman naik pesawat terbang untuk pertama kali. Waktu itu Maret 2016, kami sekeluarga pergi ke Makassar untuk menjenguk Aki dan Nin. Awalnya Amay takut membayangkan rasanya naik pesawat terbang. Tapi setelah pesawat Garuda Indonesia yang kami tumpangi mulai lepas landas, dia begitu excited. "Mama, kita terbang!" ucapnya dengan mata berbinar.

Sepanjang perjalanan dia berceloteh ria. "Itu pulau Ma... Waa..awannya putih-putih." dan lain sebagainya. Ia juga mengamati apa saja yang ia lihat di bandara. Ia jadi tahu bahwa sebelum terbang, pesawat akan diisi bahan bakar terlebih dahulu. 

Ya, seperti yang terlihat di gambar buatannya itu. Ada mobil Pertamina (ia menulis pertaminal). Ia juga menggambar Mama (memakai jilbab), Papa, juga adik Aga. 

Keep drawing, my little boy. Tuangkan imajinasimu dalam karya-karya indahmu. :)
Read More

Ket, Kucing Kecil yang Sedang Bersedih

Tuesday, September 6, 2016


Hari ini Ket tampak murung. Ia tak seceria biasanya. Teman-teman Ket menjadi heran karenanya. Pipit, seekor burung kecil, terbang mendekatinya. “Ket, apa kamu sakit? Kenapa diam saja?” tanyanya. Ket hanya menjawab dengan gelengan. Tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Cici, seekor kelinci kecil yang baik hati, ikut pula menghampiri Ket.
“Hai Pipit, hai Ket. Kalian sedang apa?”
“Aku sedang bertamu ke rumah Ket dan kulihat dia sedang murung. Tapi saat kutanya apa dia sedang sakit, dia hanya menggeleng.” Jawab Pipit.


Iput, seekor tupai yang mendengar percakapan mereka kemudian berkata, “Ket memang tidak sakit. Ia hanya sedang bersedih.”
“Dari mana kamu tahu?” tanya Cici sambil mengunyah wortelnya.
“Aku tadi melihatnya menangis.” Jawab Iput.
“Mengapa kamu menangis, Ket? Apakah ada masalah? Ceritakanlah pada kami, siapa tahu kami bisa membantumu.” Bujuk Pipit.
“Ibuku pergi.” Kata Ket singkat. Ia lalu menundukkan kepala.



“Tapi ibumu pergi untuk mencari makan, Ket. Untukmu juga. Kalau ibumu tidak makan, air susunya tak akan keluar. Kamu tak bisa menyusu nantinya. Yakinlah, ibumu tak lama lagi pulang. Tadi kudengar ibumu berkata seperti itu, bukan?” Iput berusaha menghibur.
“Iya Ket, kamu sabar ya… Kami disini akan menemanimu hingga ibumu kembali.” Cici juga berusaha menghibur kucing kecil itu.
“Kamu tahu, Ket? Dulu saat aku belum bisa terbang, ibuku selalu pergi meninggalkanku untuk mencari makanan, dan setelah ia dapatkan makanan itu, ibu menyuapiku.” Cerita Pipit. “Tapi aku tidak menangis, karena aku tahu ibu akan kembali.”
“Betul kata Pipit, Ket. Nanti kalau kamu sudah besar, pasti ibumu akan mengajakmu mencari makanan.” Ujar Cici menasehati.
“Tersenyumlah, Ket.” Bujuk Pipit. Ket pun tersenyum.



“Hai lihat! Siapa disana?” teriak Iput.
“Ibu!!!” Ket berlari menuju ibunya.
“Kau menangis, Ket? Matamu berair.” Tanya ibu dan dijawab Ket dengan tersipu malu.
”Tadi aku memang menangis, Bu. Tapi teman-teman datang menghibur dan menemaniku.” Kata Ket sambil memandang ke arah Pipit, Cici, dan Iput.
“Sudah mengucapkan terima kasih pada teman-temanmu?” Tanya ibu.
“Oh, aku sampai lupa. Terima kasih teman-teman,” kata Ket sambil tersenyum.
“Sama-sama Ket,” Iput, Pipit, dan Cici menjawab serempak.



Kini Ket tak bersedih lagi. Ia akan mencari teman-temannya jika ibu pergi mencari makan dan menyuruhnya tetap tinggal.
~-~





Read More