Katanya, ilmu parenting hanya berlaku dan hanya bisa diterapkan oleh orang kaya saja. Benarkah demikian?
Faktanya memang banyak guyonan-guyonan parenting yang relate banget dengan kita, anak-anak produk keluarga dari kelas ekonomi menengah ke bawah. Misalnya, ketika anak-anak berantem, bukannya dilerai atau dinasehati, eh malah disodori pisau sekalian. 🙈 Paham kok, bukan berarti orang tua bermaksud agar kita saling menyakiti dengan pisau itu, tapi yang orang tua kita lakukan itu semacam "ancaman halus" (atau bisa juga dibilang sindiran agar kita segera diam?). Nyatanya, yang orang tua kita lakukan itu memang efektif membuat kita berhenti bertengkar. Xixixi...
Contoh lain misalnya, ketika anak main lari-larian trus jatuh, bukannya langsung ditolong, malah dimarahi, "Baru juga dibilangin jangan lari-lari. Ngga dengerin sih, jatuh kan jadinya?"
Oke, itu omelan versi panjang.
Versi pendeknya, "Hmm, kaaaan... Kaaannn...." 😅
Baca : 12 Gaya Populer Kekeliruan dalam Komunikasi
Nah, hasil dari gaya parenting seperti itu ya kita-kita ini. Efek baiknya mungkin, kita jadi lebih peka membaca suasana hati orang lain? Efek buruknya, kita jadi gampang overthinking, takut melakukan sesuatu karena takut salah atau gagal.
Lalu, benarkah ilmu parenting itu cuma bisa berhasil untuk golongan kaya saja?
Menurut saya sih belum tentu. Banyak kok di sekitar saya, keluarga yang secara ekonomi biasa-biasa saja, tetapi bisa menerapkan gaya pengasuhan yang baik pada anak-anaknya. Cuma ya, karena orang biasa, jadi tidak terekspos.
Trus kenapa bisa muncul statement seperti itu? Mmm, mungkin karena yang kita lihat adalah contoh-contoh di TV, seperti keluarga Mona Ratuliu, atau yang sekarang sering disorot adalah gaya pengasuhan Nikita Willy. Kita kan tidak tahu bagaimana keadaan keluarga orang kaya yang lainnya. 😁
Memang, keluarga dengan tingkat ekonomi sejahtera punya lebih banyak privileges, sehingga akan lebih mudah menerapkan ilmu parenting yang baik dan benar, dibandingkan dengan mereka yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Beberapa privileges itu antara lain;
1. Bisa membayar jasa nanny, jadi ketika lelah mengasuh anak, ada nanny yang bisa menggantikan perannya. Bandingkan dengan orang biasa yang jangankan untuk membayar nanny, untuk membeli diapers saja mesti pintar-pintar atur gaji bulanan. Mereka ini (termasuk saya juga), mau ngga mau harus tetap mengasuh anak-anaknya, bagaimanapun lelah yang dirasa.
2. Orang kaya, ketika anak tidur bisa ikut tidur. Orang yang ekonominya pas-pasan, selagi meninabobokan anaknya, pikirannya sudah berencana mau pegang pel, cucian, setrikaan, atau yang mana dulu nih? 😂 Mereka ini (termasuk saya ding), boro-boro terpikir membayar jasa ART, wong untuk mengirim cucian ke binatu (laundry) supaya pekerjaannya lebih ringan saja masih mikir dua kali.
3. Orang kaya, ketika lelah secara mental saat mengurus anak-anak, bisa langsung pergi ke psikolog tanpa kuatir dengan biaya. Orang-orang kayak saya akan mencari tahu, apakah jasa psikolog bisa ditanggung BPJS? 🙊
4. Orang kaya lebih mudah mengakses ilmu parenting melalui buku-buku atau seminar-seminar parenting. Bagi orang biasa, buku-buku parenting dan seminar-seminar itu adalah sebuah kemewahan. Tak pernah terpikirkan, apalagi menjadi prioritas.
Dari poin-poin di atas bisa disimpulkan, orang-orang dengan keadaan ekonomi yang "mengkis-mengkis", boro-boro terpikir untuk menerapkan ilmu parenting dengan baik dan benar, karena bisa tetap "waras" saja sudah syukur alhamdulillah.
Baca: Ketika Saya Menjadi Seorang Ibu; Antara Ekspektasi dengan Realita
Tapi jangan sedih... Seiring dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat kita, juga dengan perkembangan teknologi yang memungkinkan kita untuk mengakses aneka informasi, kesadaran para orang tua mengenai pentingnya ilmu pengasuhan juga semakin meningkat.
Memang, seberapa penting sih ilmu parenting itu?
Ilmu parenting perlu dipelajari bahkan sebelum anak-anak hadir di tengah-tengah kita. Tujuannya adalah untuk mempersiapkan diri dalam menjalankan tugas sebagai orang tua.
Mengasuh anak adalah bagian dari ibadah. Dalam setiap ibadah yang kita lakukan, ilmu diperlukan sebagai penuntunnya. Kita mau memasak saja perlu ilmu agar masakannya bisa jadi enak. Bahannya apa saja, seberapa banyak takarannya, bagaimana langkah-langkahnya, dll. Maka, mengasuh anak juga perlu ilmu, agar anak-anak yang kita didik dan kita rawat bisa tumbuh menjadi seperti apa yang kita inginkan.
Ada satu buku parenting favorit saya, judulnya "Parenting With Heart" karya Elia Daryanti dan Anna Farida. Buku ini tidak menggurui, ditulis dengan bahasa yang mudah dicerna otak emak-emak, tetapi pilihan diksinya bisa menyentuh hingga relung kalbu. Saya biasa melipat halaman yang penting, tetapi membaca buku ini, rasanya semua halaman harus dilipat karena tak ada yang tidak penting.
Jujur, saya langsung jatuh cinta pada buku ini, bahkan sejak halaman pertama. Saya kutipkan sedikit, ya...
Huwaaa... Pas baru baca pertama kali, saya langsung nangis dong. Huhu...
~
Saya yakin, tak ada orang tua yang dengan sengaja ingin menyakiti anaknya. Saya yakin, semua orang tua punya rasa sayang yang besar pada anak-anaknya. Hanya saja, keterbatasan wawasan, minimnya pengalaman, membuat banyak dari kita salah mengambil keputusan atau tindakan saat menghadapi perilaku anak-anaknya. Semoga, dengan semakin canggihnya teknologi, dengan semakin derasnya arus informasi, kita bisa memanfaatkannya untuk belajar lagi menjadi orang tua terbaik bagi anak-anak kita.
Semoga generasi yang saat ini sedang kita asuh, rawat, dan besarkan, bisa tumbuh menjadi generasi yang tangguh, namun tetap dipenuhi dengan cinta dan kasih. Aamiin...
Ditulis dengan Cinta, Mama
Post a Comment