Beberapa waktu lalu, saya membeli dua buah buku. Satu berjudul "Lost Child" karya Torey Hayden, satunya lagi berjudul "Please Look After Mom" karya Shin Kyung-sook - seorang penulis dari Korea Selatan. Kenapa saya tertarik membeli dua buku itu? Salah satu alasannya, terkadang saya membeli sesuatu karena alasan yang sentimentil. Karya-karya Torey Hayden menemani masa-masa belajar saya saat menjadi guru, dulu. Jadie, Venus, dan Sheila; Luka Hati Seorang Gadis Kecil, adalah judul-judul yang pernah saya baca. Maka, ketika saya melihat buku Torey yang lainnya, saya susah menahan diri untuk tidak membelinya juga.
Adapun buku "Please Look After Mom", saya beli karena ada "bau-bau" ibu di situ. Begitulah perasaan anak yang kehilangan ibu, segala hal bisa memantik rindu. Bahkan kata Ustadz Abdul Somad, sakitnya anak yang kehilangan ibunya, adalah sakit yang tidak akan pernah bisa disembuhkan, meski belasan tahun telah berjalan.
Kepergian ibu bagi seorang anak, rasanya seperti kehilangan separuh dunia. Sakitnya hanya akan sembuh, saat pertemuan di surga-Nya.
Bagaimana isi kedua buku itu, insya Allah akan saya ulas di tulisan selanjutnya. Kali ini saya akan membahas tentang sebuah puisi yang diselipkan oleh penjual buku ini.
Adalah Mbak Shabrina WS, salah satu penulis favorit saya, yang mempunyai lapak di Instagram @ini_kolibri. Darinyalah saya membeli kedua buku tadi. Mbak Shabrina bukan penjual buku biasa, karena sepenglihatan saya, setiap pesanan selalu dibungkus dengan cinta.
Dan, saya pun merasakannya juga. Buku pesanan saya tidak hanya dibungkus dengan rapi, tapi saya pun mendapatkan bonus puisi. Ya, di buku "Please Look After Mom", Mbak Shabrina menyertakan sebuah puisi karya Kurnia Hidayati, yang berjudul "Masa Kecil Ibu". Puisi itu dimuat di harian Jawa Pos. Bagaimana puisi itu bisa mencabik-cabik perasaan saya? Beginilah bunyinya...
Masa Kecil Ibu
Hampir belasan, jumlah tahun yang menetap di badan
Namun, sebelah bahunya sudah miring, titik-titik lelah tersiar dalam hening
Sebuah selendang batik di leher selalu tersampir
Untuk adik-adik, sepasang tangannya membentang, merengkuh, dan amat lihai membuhul gendongan
Ibu kecil tertatih-tatih memasuki ambang pintu dewasa
Melampaui sejatinya usia
Di pintu itu, tak ada potongan kue tiap tahun atau kerlip lilin angka
Bahkan permainan masa kecil dan nama kawan telah jauh tertinggal di balik punggung
Ibu kecil merajut malam bersama adik-adik dalam dongeng, suapan makan, dan buku pelajaran di genggaman
Ibu kecil paham bahwa dunia tempatnya lelah, seluruh pekerjaan rumah, berkejaran dengan istirah
Kendati kalender terus terlepas dan menyinggungnya dengan keras, hati ibu terus terisi dengan cinta dan kasih
Segala kisah dijalani tanpa mengizinkan saat untuk bersedih
Baginya bahagia ialah lengkung cita di raut orang tua dan adik-adiknya
Menjadi anak kedua dengan sepasang kaki yang senantiasa berdiri
Menghadang apa yang terjadi, untuk adik-adik
Untuk ibu dan ayahnya
Meski dirinya sendiri tak ia pikirkan lagi
~
Membaca puisi ini, saya tak kuasa membendung air mata. Betapa jalan hidup "ibu" di puisi ini, persis dengan apa yang terjadi pada ibu saya. Ibu adalah anak kedua dari delapan bersaudara. Lahir dari pasangan guru, yang saat itu gajinya tak seberapa. Adiknya ada enam, tiga laki-laki, tiga perempuan, semua berjarak dua tahun umurnya. Bagaimana masa kecil ibu dihabiskan? Persis seperti yang Mbak Kurnia Hidayati tuliskan.
Sekarang ibu sudah beristirahat. Sebagai anak, saya hanya bisa berdoa, semoga Allah memberikan tempat istirahat yang luas, yang terang, yang tenang untuknya. Semoga Allah haramkan api neraka menyentuh tubuhnya. Semoga kelak saya bisa kembali bertemu dengan ibu di jannah-Nya. Aamiin aamiin Yaa Rabbal 'Aalamiin.
Ditulis dengan Cinta, Mama
Post a Comment