Showing posts with label belajar taqwa. Show all posts
Showing posts with label belajar taqwa. Show all posts

Mengompos, Upaya Penerapan Hablun Minal 'Alam

Thursday, November 12, 2020

hablun minal 'alam

Kemarin, di tugas belajar daringnya Mas Amay, ia diminta untuk menganalisa sebuah tulisan tentang Kakek Duha Juhaeri, Sang Penyelamat Lingkungan. Di situ tertulis bahwa Kakek Juhaeri berhasil mengubah kerusakan menjadi keteduhan. Saat mendampingi Mas Amay belajar itulah, tercipta sebuah diskusi di antara kami berdua, bahwa kewajiban ibadah bukan hanya sebatas sholat lima waktu, puasa, dan ibadah mahdhah lainnya. Ada banyak hal baik lainnya, yang jika kita lakukan dengan ikhlas, pun bisa bernilai ibadah.

Islam memang memiliki ajaran yang istimewa. Islam tidak hanya memerintahkan untuk beribadah kepada Tuhan saja (hablun min Allah), tetapi juga mewajibkan pemeluknya untuk membina hubungan yang baik dengan sesama manusia (hablun minannas) dan alam sekitar (hablun minal 'alam). Ketiganya sama pentingnya. Bahkan jika dicari dalil naqlinya, banyak sekali perintah untuk berbuat baik kepada sesama dan alam sekitar.

Dalam hubungannya dengan hablun minal 'alam, berikut ini adalah salah satu dalilnya;

"Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman." (QS. Al-A'raf [7]: 85)

Nah, mari kita tanya pada diri sendiri, hal baik apa yang sudah kita perbuat untuk lingkungan? Saya mengaku, sampai detik ini saya belum berbuat banyak. Saya masih "nyampah" setiap hari. Rumah yang kami tinggali saat ini pun berdiri di atas sawah yang telah "dilenyapkan".

Namun, pelan-pelan kami mencoba "berbuat baik" pada alam, dimulai dari hal-hal kecil seperti menanam tanaman di halaman rumah, meski lahan yang kami punyai sangat terbatas. Semoga tanaman-tanaman yang kami tanam bisa bermanfaat bagi lingkungan, misalnya untuk menghasilkan oksigen, menyediakan makanan bagi serangga, dll. Selain itu, kami juga mencoba untuk konsisten mengompos, agar sampah organik yang dihasilkan dari dapur kami masih bisa dimanfaatkan.

Baca : Kisah Menghadirkan Proses Metamorfosis di Rumah

Tentang mengompos, beberapa waktu lalu Mama Kepiting berkesempatan ngobrol bareng Ibu DK Wardhani, seorang dosen, penulis, pecinta lingkungan, yang juga merupakan founder dari kelas #mengompositumudah.

#KEBNgobrol soal sampah

Saat itu, banyak yang bertanya, bagaimana agar bisa konsisten memisahkan sampah organik dan anorganik, mengingat bahwa mengelola sampah adalah kegiatan yang ribet. Iya kan?

Ibu Dhini (panggilan akrab beliau) menjawab, "Kita harus punya strong why, motivasi internal, misalnya dari sisi spiritualitas, bahwa semua yang kita lakukan di dunia ini ada pertanggungjawabannya. Tentu kita pun sudah tahu apa bahayanya jika terus-terusan mengirim sampah ke TPA. Setelah itu, niatkan lillahi ta'ala, insya Allah apa yang kita lakukan ini worth it."

"Mengelola sampah adalah bentuk tanggung jawab kita sebagai manusia, karena kita sudah diizinkan untuk tinggal di sini. Dan sebenarnya, kita sedang mempersiapkan masa depan kita (bumi kita)." tambah beliau.

Benar sih, kalau kita abai terhadap kondisi lingkungan, entah apa yang akan terjadi sepuluh, lima belas, dua puluh tahun yang akan datang? Akankah udara yang kita hirup masih sesegar sekarang? Akankah air yang kita minum masih sebersih sekarang?

Mengompos itu ribet, memang. Pertama, kita harus memilah sampah terlebih dahulu. Kemudian, kita harus menyediakan tempat untuk sampah-sampah organik itu. Selanjutnya, kita masih harus rajin mengaduk setiap hari. Ribet memang. Namun, inilah ibadah. Setelah ilmu dan niat, kita diminta untuk bersabar saat menjalankannya.

Tentang 4 unsur dalam ibadah, Mama pernah menuliskan di sini: 4 Unsur dalam Ibadah

Jadi, untuk teman-teman yang belum mulai mengompos, yuk kita mulai perlahan-lahan. Jadikan kegiatan ini sebagai bagian dari gaya hidup. Siapa tahu, apa yang teman-teman lakukan bisa menginspirasi yang lainnya. Insya Allah, semakin banyak yang berbuat baik pada bumi, bumi pun akan tetap menjadi tempat ternyaman untuk ditinggali. 😊

 

Ditulis dengan Cinta, Mama

Read More

Adab Bertamu dan Memuliakan Tamu

Saturday, November 16, 2019


Kemarin, pulang sekolah Mas Amay langsung cerita. "Tadi di sekolah Mas Amay ngafalin hadits memuliakan tamu. Gini, 'Barangsiapa yang beriman kepada Allah, hendaklah ia memuliakan tamunya'."
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/107372/adab-adab-dalam-menerima-tamu
Konten adalah milik dan hak cipta www.islam.nu.or.id
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/107372/adab-adab-dalam-menerima-tamu
Konten adalah milik dan hak cipta www.islam.nu.or.id
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/107372/adab-adab-dalam-menerima-tamu
Konten adalah milik dan hak cipta www.islam.nu.or.id

Mama jadi ingat almarhumah Uti. Setiap kali ada tamu, Uti selalu menyambut tamunya dengan senyuman terbaik. Kalau tamunya menginap, Uti selalu siapkan masakan terenak. 'Diada-adain' pokoknya. Jujur saja, Mama belum bisa meneladani apa yang Uti contohkan, tapi Mama selalu berusaha melakukan yang terbaik yang bisa Mama lakukan.


Adab Ketika Bertamu dan Ketika Menerima Tamu


Selain menjamu dengan jamuan terbaik, ada banyak lagi adab memuliakan tamu yang harus kita tahu. Di antaranya adalah:

1. Menyambut tamu dengan senyuman yang tulus dan selalu menampakkan wajah yang gembira. Ada pepatah yang mengatakan bahwa, 'Menunjukkan wajah yang riang gembira lebih baik dari memberi suguhan (tanpa disertai wajah gembira)'.

2. Meminta tamu untuk tetap memakai alas kaki.

3. Menampakkan kondisi serba cukup.

4. Tidak mengeluh tentang waktu kehadiran mereka.

5. Mengajak ngobrol tentang hal-hal yang disukai tamu.

6. Tidak membicarakan tentang sesuatu yang membuat mereka takut.

7. Tidak marah kepada siapapun agar tamu tetap merasa nyaman di rumah kita.

8. Tidak tidur sebelum mereka beristirahat.

9. Menunjukkan kesedihan ketika tamu berpamitan.

10. Memberikan oleh-oleh atau buah tangan kepada tamu.

11. Tidak menunggu orang yang akan datang ketika masih ada tamu.

Wah, ternyata hal-hal kecil semacam meminta mereka tetap memakai alas kaki, atau tidak tidur sebelum mereka beristirahat, adalah bagian dari adab menerima tamu. Adab-adab di atas, apabila kita terapkan saat menerima tamu, insya Allah akan membuat tamu merasa nyaman dan tidak kapok berkunjung ke tempat kita. :)

Baik, itu tentang Adab Memuliakan Tamu. Sekarang, bagaimana bila kita menjadi tamu? Apa saja Adab Bertamu yang harus kita pegang?

1. Memperhatikan waktu kedatangan. Sebaiknya tidak bertamu di 3 waktu istirahat, yaitu; sebelum shubuh, setelah dzuhur dan setelah isya' (maksudnya adalah di malam yang terlalu larut).

2. Meminta izin untuk masuk maksimal tiga kali. Ketika mengetuk pintu pun, kita dianjurkan untuk mengetuknya dengan lembut.

"Kami di masa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam mengetuk pintu dengan kuku-kuku." (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod bab Mengetuk Pintu)

3. Posisi berdiri tidak menghadap pintu masuk. Ini dimaksudkan agar apa yang ada di dalam rumah tidak terlihat langsung oleh tamu sebelum mereka diizinkan masuk.

"Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam apabila mendatangi pintu suatu kaum, beliau tidak menghadapkan wajahnya di depan pintu, tetapi berada di sebelah kanan atau kirinya dan mengucapkan assalamu'alaikum ... assalamu'alaikum ..." (HR. Abu Dawud)

4. Tidak mengintip. Jika menghadap pintu saja tidak diperbolehkan, apalagi mengintip?  Ini sering dilakukan ketika kita penasaran, apakah tuan rumah ada di dalam. Namun, harus diingat bahwa hal ini sama sekali tidak sopan. Rasulullah pun bersabda, "Andaikan ada orang menengokmu di rumah tanpa izin, kalian melemparnya dengan batu kecil lalu kamu cungkil matanya, maka tidak ada dosa bagimu." (HR. Bukhari Kitabul Isti'dzan)

5. Menjawab pertanyaan dengan jelas. Jika tuan rumah bertanya, "siapa?", jangan jawab dengan "saya", tapi sebut nama dengan jelas, dan jelaskan juga maksud dan tujuan kedatangan kita.

6. Duduk di tempat yang sudah disediakan. Jangan melirik-lirik ke tempat makanan, juga ke arah tempat keluarnya perempuan.

7. Tidak makan/minum sebelum dipersilakan. Ingat ya, Mas Amay dan Adek Aga, tidak sopan jika sedang bertamu, kalian merengek-rengek meminta makanan.

8. Hendaknya mendoakan orang yang telah memberi suguhan makanan, setelah mencicipi makanan tersebut, dengan doa sbb:

اَللّهُـمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي, وَاْسقِ مَنْ سَقَانِي

"Ya Allah, berikanlah makanan kepada orang yang telah memberikan makanan kepadaku dan berikanlah minuman kepada orang yang telah memberikan minuman kepadaku." (HR. Muslim)

اَللّهُـمَّ اغْـفِرْ لَهُمْ وَارْحَمْهُمْ وَبَارِكْ لَهُمْ فِيْمَا رَزَقْتَهُمْ

"Ya Allah, ampuni dosa mereka dan kasihanilah mereka serta berkahilah rezeki mereka." (HR. Muslim)

9. Sebaiknya tidak memberatkan tuan rumah.

10. Dianjurkan untuk membawa buah tangan.

11. Setelah urusan selesai, hendaklah seorang tamu segera pulang dengan lapang dada dan memaafkan kekurangan tuan rumah.

Nah, jadi tidaklah beradab ketika seseorang seusai bertamu, kemudian menceritakan kekurangan sang tuan rumah kepada orang lain.

Mama jadi teringat dengan sebuah nasihat;

Adab ketika bertamu
Adab Bertamu

Ya, masuklah ke rumah orang lain dalam keadaan buta dan keluarlah dalam keadaan bisu. Ini adalah sebuah perumpamaan, bahwa sebaiknya kekurangan-kekurangan yang tuan rumah miliki, tak perlu orang lain ketahui. Nah, apalagi sampai dibuat status di media sosial. Tak elok.


Setelah mengetahui Adab Bertamu dan Adab Memuliakan Tamu, semoga kita dapat mempraktikkan adab ini dengan baik. Karena ilmu tanpa adab, adalah sia-sia.

Wallahu a'lam bish-showab.


Ditulis dengan Cinta, Mama






Sumber Referensi:
1. https://islam.nu.or.id/post/read/107372/adab-adab-dalam-menerima-tamu

2. https://kitchenuhmaykoosib.com/adab-bertamu/

3. https://muslim.or.id/1546-adab-bertamu-dan-memuliakan-tamu.html


Read More

Mas Amay Belajar Berbagi; Jual Buku untuk Korban Gempa Lombok, Palu dan Donggala

Friday, November 2, 2018


Assalamu’alaikum semua... 

Sepertinya sudah lama sekali blog ini tidak terisi. Maklum, mamakepiting lagi sok sibuk banget nih. Salah satunya, di awal bulan Oktober kemarin, mamakepiting dan papabebi merealisasikan rencana kami untuk memperbanyak buku karangan Mas Amay yang berjudul Kuro dan Peni.

Mama sudah pernah ceritakan tentang buku Mas Amay itu di “Dongeng Fabel Karya Mas Amay”.

Beruntung sekali Mas Amay memiliki papa yang kreatif. Cerita Mas Amay itu dipoles sedemikian rupa sehingga menjadi buku yang enak dibaca.

Proses kreatif itu dimulai sejak bulan Juli. Mas Amay diminta oleh papa untuk menggambar tokoh-tokoh dalam cerita yang dibuatnya. Seperti ini:


ikan pari, ikanbelang, kepe monyong dan kepiting
gambar lautnya



Kuro dan Peni
rumput laut, bintang laut, dan terumbu karang


sampah-sampah di lautan
perahu nelayan

air laut yang keruh oleh sampah
nelayan, jaring, dan petugas kebersihan pantai
suasana di tepi pantai


mobil pengangkut sampah
ubur-ubur, kuda laut, gurita, dan ikan-ikan












FYI, papa yang mewarnai gambar-gambar itu, karena Mas Amay belum terlalu jago dalam pewarnaan. Papa juga yang me-layout-nya halaman demi halaman, hingga tokoh-tokoh itu hadir dalam sebuah cerita yang utuh.

Dan jadilah seperti ini:







Untuk versi lengkapnya, bisa dilihat di https://issuu.com/yopieherdiansyah/docs/kuro___peni_-_2

Sedikit cerita, sebenarnya buku ini pernah diikutkan dalam sebuah lomba membuat e-book yang diadakan Ditjen PAUD Kemdikbud. Sayangnya, Mas Amay dan Papa belum beruntung. Namun, sedari awal Mama sudah berniat, jikapun mereka gagal menjadi juara, Mama tetap akan mencetak buku ini sendiri.

Dan akhirnya keinginan itu terealisasi.

Latar belakang dicetaknya buku ini adalah untuk mengumpulkan donasi bagi korban gempa Lombok. Kami ingin mengajarkan pada Amay tentang makna berbagi. Bahwa berbagi itu mengayakan jiwa, dan berbagi tak pernah membuat rugi. Jadi, meski kita tak punya banyak harta, kita bisa membantu dengan tenaga dan pikiran juga.

Alhamdulillah, berkat dukungan teman-teman semua, 56 eksemplar Kuro dan Peni sudah berpindah tangan. Dan hasil dari penjualan buku tersebut, terkumpul Rp 1.060.000,00, dan semuanya sudah kami serahkan kepada LAZIS Solo Raya, perantara yang kami tunjuk untuk menyalurkan donasi ke Lombok, Palu dan Donggala. 

Memang masih ada pemesan buku ini, tapi mohon maaf, untuk donasi sudah kami tutup. Jadi,  untuk pemesan berikutnya, keuntungannya jadi milik Mas Amay yaa.. ☺☺





Dan berikut rincian modal dan pendapatannya, sehingga muncul angka Rp 1.060.000,00 ya...



Ini adalah biaya cetaknya. Dengan kertas "art paper", 120 lembar A3 (kemudian dibagi 4, sehingga menjadi kertas berukuran A5) untuk 30 eksemplar, biayanya adalah Rp 315.000,00. Kami mencetak sebanyak dua kali, untuk memenuhi permintaan 60 eksemplar.

Jadi, total biaya cetak dan potong adalah Rp 630.000,-



Ini adalah biaya jilid spiral. Karena dirasa agak mahal, jadi Papabebi hanya menjilid sebanyak 15 eksemplar. 



Dan alhamdulillah, ketemu juga tempat menjilid yang agak murah di dekat kampus UMS. Tulisan ini tidak bermaksud untuk menjelek-jelekkan toko pertama yaa... Masuk akal koq kalau di dekat UMS lebih murah, karena dekat kampus, otomatis persaingan lebih ketat kan... Dan kami mencari yang lebih murah dengan tujuan agar donasi untuk korban gempa bisa terkumpul lebih banyak lagi. Lumayan kan, bertambah Rp 4.000,- per eksemplarnya.

Kami juga membeli amplop untuk mengirim ke luar kota sebanyak 18 buah dengan harga @1.500. Jadi, untuk amplop, biayanya adalah Rp 27.000,00.  

Jadi, total modal cetak kemarin adalah: 630.000 + 105.000 + 90.000 + 45.000 + 27.000 = Rp 897.000,00

Dan ahamdulillah, jumlah uang yang masuk adalah sebesar Rp 1.956.000,00. Jadi, jika dikurangi modal, maka keuntungannya adalah Rp 1.059.000,00. Untuk LAZIS kami genapkan menjadi Rp 1.060.000,00

Mungkin ada yang bertanya, Kuro dan Peni harganya Rp 30.000,00 tapi mengapa jumlah uang yang masuk ada Rp 1.956.000,00 padahal yang terjual adalah 56 eksemplar? Jawabannya adalah karena ada satu orang yang mentransfer 200.000, padahal yang dibeli hanya 1. Ada pula yang membayar Rp 50.000,00 untuk 1 buku. Jadi alhamdulillah ada tambahan lagi.

Alhamdulillah. Jujur, saya dan suami tak menyangka bahwa langkah kami ini mendapatkan support sehebat ini dari teman-teman semua. Terima kasih, terima kasih, terima kasih. Semoga donasi dari teman-teman bermanfaat untuk saudara-saudara kita di Lombok, Palu dan Donggala. Semoga Allah membalas semua kebaikan teman-teman yaa... Aamiin YRA.


NB: Untuk saat ini, di rumah masih ada sisa 4 eksemplar. Mohon keridhoan teman-teman ya, jika yang ada di rumah ini nanti hasil penjualannya untuk Mas Amay semua. Terima kasih. :)


Read More

Bawa Toddler Saat Buka Bersama, Enaknya Gimana?

Friday, May 25, 2018



Puasa sudah memasuki hari ke sembilan, tapi keluarga Mama Kepiting sama sekali belum berbuka puasa di luar. Memang sudah ada jadwal di tanggal 30 Mei dan tanggal 2 Juli, yaitu ifthor bersama ex TK Mas Amay (karena Mama masih menjadi pengurus komite), dan ifthor bersama teman-teman SD Mas Amay. Tapi sejujurnya, Mama masih bingung akan bagaimana buka bersama nanti.

Untuk TK Mas Amay, Mama sebenarnya sudah berencana untuk minta ijin tidak hadir, karena selain tempatnya lumayan jauh, Mama juga pusing memikirkan bagaimana jika Dek Aga rewel di sana. Tapi belum juga sempat ijin, semalam Ust Rina meminta Mama menjadi MC di ifthor nanti. Hihi, padahal Mama suka grogi, masa diminta jadi MC? Tapi Ust Rina adalah Ust Rina, yang pandai merayu dan membesarkan hati Mama. Entah bagaimana, Mama jadi tak kuasa menolaknya. :D

Nah, tinggal ifthor bersama teman-teman SD, nih. Mama sudah merayu Papabebi, supaya Papa saja yang datang nanti. Tapi Papabebi selalu beralasan, “Malu ah, nanti Papa jadi satu-satunya bapak-bapak di sana...” Padahal ketakutannya itu seringkali tidak terbukti. Seperti waktu out bond akhir tahun lalu, ada beberapa bapak-bapak yang mengantar anak-anaknya kok.


Akhirnya, seringkali Mama kembali mengalah. Menghadiri acara meski dengan membawa Dek Aga. Sejujurnya Mama masih agak trauma, jika mengingat buka bersama tahun lalu bersama Tante Diba dan Om Apip, semalam sebelum kami mudik.

Kami sudah berbuka di rumah kantor, dengan segelas teh manis hangat dan beberapa potong gorengan. Setelah sholat Maghrib, kami baru berangkat ke tempat berbuka, yang tak seberapa jauh dari kantor Papa. Cara ini belakangan memang kita pilih, agar tidak kehilangan waktu sholat Maghrib, yang jauh lebih wajib dan lebih berharga dari sekedar buka bersama di restoran, yang seringkali memakai dalih silaturrahmi.

Tentu tidak semua yang berbuka puasa di luar, menomorduakan sholat maghrib yaa.. Tapi bisa kita rasakan sendiri, kok, mana yang lebih nyaman. Sholat maghrib di rumah, atau di restoran, yang terkadang seperti diburu-buru oleh pengunjung lainnya yang antri di belakang.

Maka dari itu, sejak punya Dek Aga, Mama lebih senang memilih untuk berbuka puasa di rumah makan yang tidak jauh dari rumah, dan berangkat ke sana setelah selesai sholat maghrib di rumah. Enaknya, tempatnya sudah relatif lebih sepi, karena beberapa pengunjung sudah menyelesaikan makannya. Kita juga tidak kehilangan kekhusyu’an dalam mengerjakan sholat Maghrib yang waktunya paling sempit di antara waktu sholat lainnya. Resikonya, sholat isya’ dan tarawihnya terlambat, jadi harus menunaikannya sendiri di rumah.

Nah, tahun lalu, saat berbuka puasa di luar, kondisi Mama dan Papa memang sedang tidak fit. Tapi hari itu adalah hari terakhir kantor sebelum libur lebaran. Maka, acara buka bersama tetap diadakan.

Qodarullah, Dek Aga rewel, nangis melulu. Mama mempersilakan Papa untuk makan lebih dulu. Papa pun makan dengan buru-buru. Setelah Papa selesai, Papa mengambil alih Dek Aga. Tapi, ya memang karena Dek Aga sedang jelek mood-nya, dia nangis terus. Bener deh, Mama sampai kehilangan nikmatnya berbuka. Apalagi Mama sempat tersedak juga, dan itu membuat Mama terbatuk-batuk, hingga seluruh isi perut Mama keluar. Yah, kebetulan kondisi Mama dan Papa juga sedang sakit kan?


crying toddler from chacomsig

Duh, kalau mengingat hari itu, rasanya Mama kapok membawa toddler berbuka puasa di luar. Tapi, setelah Mama ingat-ingat lagi, dulu waktu Mas Amay masih kecil, Mas Amay juga sering kok diajak makan di luar. Kami bahkan sering sekali berbuka puasa bersama Mas Arka, sahabatnya Mas Amay sedari bayi. Ya mungkin karena Mas Amay lebih mudah ditenangkan saat rewel dibandingkan Dek Aga yaa.

Jadi menurut Mama Kepiting bagaimana? Mengajak Toddler berbuka puasa, yay or nay?

Jawaban Mama, tergantung.

  • Mama harus melihat dan memahami karakter si toddler bagaimana. Kalau senang berada di keramaian, saat rewel mudah ditenangkan dan perasaannya mudah dikendalikan, Mama akan jawab yay.
  • Syarat lainnya, harus ada orang dewasa lainnya yang bisa bergantian mengasuh si toddler, dalam hal ini, Papa.


Jika kedua syarat itu tak terpenuhi, udah deh, mending buka puasa di rumah aja, tak kalah nikmatnya. Hihihi...

Dan untuk teman-teman di Solo yang sedang mencari tempat berbuka puasa, bisa ke sini yaa:

- Ibarbo Food Court, Kottabarat
- Kebon nDeso, Colomadu
- Cemokot, Wedangan nge-Hits di Klodran, Colomadu, Karanganyar

Read More

Belajar Jujur dan Bertanggung Jawab Sejak Kecil

Tuesday, May 8, 2018

Mama sering mengatakan pada Mas Amay, "Mama nggak bisa mengawasi Mas Amay setiap saat, but Allah does." Kalimat ini bermula sejak tahun lalu, saat Mama mengajak Mas Amay untuk berlatih puasa. Mengapa Mama mengatakannya? Karena saat berlatih puasa itu, diam-diam Mas Amay makan jajanan yang sedang dimakan Adek Aga. 

Mama sih tidak marah. Mama paham, apalagi Mas Amay baru berumur 6 tahun waktu itu, masih belajar puasa juga. Tapi, kalau Mama tidak menegur saat itu juga, Mama khawatir Mas Amay akan menganggap bahwa ketidakjujuran adalah hal yang biasa-biasa saja.


Dan Mama beruntung, setelah kejadian itu Mas Amay belajar, lebih baik jujur dengan mengatakan tidak kuat lagi menahan puasa, daripada harus berbohong, sembunyi-sembunyi makan jajan, dan kembali "melanjutkan puasa" yang sesungguhnya sudah tidak ada gunanya. Lebih baik jujur. Ya kan, Mas?

bohong dosa! red cross from pixabay

Dan pelajaran untuk selalu jujur itu, alhamdulillah masih Mas Amay ingat sampai hari ini ya... Waktu itu Tante Opik cerita, saat menjemput Mas Amay pulang sekolah, Tante Opik menunggu lama sekali di luar pagar. Padahal, teman-teman Mas Amay sudah pada pulang.

Tante Opik pun masuk ke kelas, dan dilihatnya Mas Amay sedang melakukan piket sendirian. Ada satu anak perempuan lain yang juga piket, justru mengatakan, "Udah yuk, May, kita pulang aja nggak usah piket..."

Tapi salut, Mas Amay tetap menyelesaikan tugas, karena itu sudah menjadi tanggung jawab Mas Amay. Mama terharu. Mas Amay tidak terlatih, dan semoga tidak akan pernah terlatih, untuk melakukan kecurangan. Karena, meski Bu Guru tidak melihat, tapi Allah Maha Melihat. Dan Allah punya malaikat yang akan mencatat.

Jaga kejujuranmu, ya, Mas.. ☺❤
Read More

Petasan

Tuesday, May 23, 2017

Bulan Ramadhan belum juga datang, tapi bunyi petasan sudah terdengar bahkan sejak berminggu yang lalu. Bunyinya yang menggelegar, terus terang saja sangat mengganggu saya. Kadang kaget mendengar suara kerasnya yang muncul tiba-tiba, kadang juga ada rasa takut saat melihat sekumpulan anak membawa petasan-petasan yang siap diledakkan. Saya takut, anak-anak itu iseng menyalakannya tepat saat saya melewati mereka.

Yah, anak-anak seperti itu kan senang kalau ada orang lain yang dikagetkan. Rasanya mungkin sangat memuaskan. Saya sangat benci dengan benda ini, dan jadi sebal dengan mereka yang menyalakannya hanya demi kepuasan pribadi, tanpa peduli keselamatan orang lain, bahkan keselamatan diri sendiri.

petasan. foto diambil dari Regional Kompas.


**
Suatu hari, segerombolan anak itu menyalakan petasan di dekat rumah. Sekelompok di sebelah utara, dan kelompok lainnya di selatan. Mereka menyalakannya bergantian. Setelah petasan dari utara berdentum, kelompok selatan menyalakan bagian mereka. Begitu terus hingga beberapa kali.

Saya sempat minta Papa Amay untuk keluar dan menasehati anak-anak itu, tapi karena mereka sudah berhenti menyalakannya, jadi Papa Amay mengurungkan niatnya.

Entah, apa yang dipikirkan anak-anak itu, dan bagaimana orang tua mereka menyikapinya. Apakah mereka mengijinkan uang jajan yang mereka berikan digunakan untuk membeli petasan? Atau memang sengaja memberi uang untuk ini? Biar rame gitu... 

Persetan dengan mereka yang membiarkan anaknya bermain petasan dengan alasan supaya anaknya senang. Hellooow, emang nggak ada cara lain untuk bersenang-senang? Saya sih menganggap orang yang main petasan sama dengan orang yang nggak bisa menahan nafsu. “Yang penting bahagia” kata mereka, tapi mereka menghalalkan segala cara untuk bisa bahagia. Mereka masa bodoh dengan orang lain yang keberisikan, yang terganggu dengan suara jedar-jeder yang bikin jantungan.

Selain saya, tentu saja ada orang lain yang terganggu. Tepat di belakang rumah saya, ada bayi berusia 2 bulan yang saat itu menangis keras. Mungkin karena terkejut. Amay saat itu langsung berkomentar, “Itu adiknya kaget ya, Ma?” Saya mengangguk. Yah, meski bayi punya banyak alasan untuk menangis, tapi bisa jadi dia menangis karena terkejut dengan bunyi petasan kan?

Saya pun mulai bediskusi dengan Amay. Saya pikir, ini saat yang tepat untuk mengajaknya berpikir, kemudian memilih dan membedakan mana yang baik dan benar, dan mana yang salah.

“Menurut Mas Amay, orang yang main petasan itu gimana sih?” tanya saya.

“Ya mengganggu. Main petasan kan bikin kaget.” Jawabnya.

“Nah, itu! Mas Amay tahu nggak, kalau orang yang suka mengganggu tetangganya itu nggak akan masuk surga? Mereka dengan tangannya, membuat tetangganya merasa tidak nyaman. Ada bayi sampe nangis. Coba kalau ada yang sakit jantung, lalu meninggal karena kaget, gimana?” Wah, Emak ngoceh panjang kali lebar. Emosiiih.

Saya mengatakan itu bukan tanpa dasar. Ada sebuah hadits shahih yang berbunyi: "Seorang yang senantiasa mengganggu tetangganya niscaya tidak akan masuk surga." --> Lihat As Silsilah Ash Shahihah 549: [Muslim: 1-Kitabul Iman, hal. 73]

“Yang kedua. Main petasan itu mubadzir. Udah bikin kaget, uangnya dibakar untuk hal yang sia-sia dan nggak ada manfaatnya. Mending uangnya buat yang lain yang lebih bermanfaat, ya kan?” Tambah saya.



“Yang ketiga. Main petasan itu bahaya. Nggak cuma bahaya untuk diri sendiri tapi juga bisa membahayakan orang lain.” Kata saya. Saya lalu menceritakan kisah seorang saudara saya di Purworejo, yang harus kehilangan telapak tangannya karena petasan. Ini asli, bukan cerita bohong. Saat itu saya masih SD. Pulang sekolah, ibu cerita kalau baru pulang dari rumah sakit, menjenguk saudara saya itu. Umurnya nggak jauh beda dengan saya. Ibu bilang, tangan kanannya harus dipotong, dan saat ibu saya menjenguknya, dia sedang berlatih menulis dengan tangan kiri.
Ya, seperti itulah.

“Trus Ma, yang keempat apa?” tanya Amay.

Mama menjawab, "Udah cukup tiga aja! Pokoknya main petasan nggak ada gunanya."


Read More

Tentang Q.S. Al-Ghosyiyah

Sunday, December 4, 2016

Besok Mas Amay akan menghadapi EAS atau Evaluasi Akhir Semester. Jadwalnya adalah, menghafal Surah Al- Ghasyiyah, dan beberapa tes lainnya seperti melengkapi huruf pada kata.

Sebenarnya saya bukan tipe ibu yang menuntut anaknya bisa ini itu. Toh tujuan awal menyekolahkan Amay adalah agar ia pandai bersosialisasi. Kebetulan juga saat itu Amay mulai jenuh di rumah, karena perhatian saya lebih banyak untuk Aga yang kala itu masih bayi.

Tapi kali ini, karena saya pun berkeinginan untuk menghafal Surah Al-Ghasyiyah itu (iya, setua ini, saya belum hafal juz 30, hiks), saya pun mengajak Mas Amay menghafal bersama-sama. Jika sebelum-sebelumnya kami hanya muroja'ah sebelum tidur (karena surah-surah sebelumnya insya Allah sudah saya hafal), kali ini saya mulai dari awal. 

Saya yang tipe visual, dan akan mengingat jika sudah kembali menuliskan ulang, pun menulis ulang surah itu. Untuk saya, mendengar murotalnya saja tak cukup. Amay juga sepertinya begitu. Dia lebih mudah menghafal beberapa ayat sekaligus, melalui tulisan tangan saya di kertas. Alhamdulillah, Amay sudah iqro' 5, jadi sedikit-sedikit sudah bisa membaca Al-Qur'an.

Hafalan pun dimulai. Dua hari ini, saya dan Amay baru hafal sekitar 16 ayat, padahal surah Al Ghasyiyah terdiri dari 26 ayat. Perkara besok Amay belum lulus hafalan ini, tak jadi masalah untuk saya. Yang penting, insya Allah mulai saat ini, saya akan rutin menghafal surah di juz 30 bersama-sama Amay. Kita berjuang bersama-sama, ya, Mas.. ☺

Q.S Al-Ghasyiyah dari https://www.youtube.com/watch?v=_41rBOEtqSo

Dan ketika membaca arti dari surah yang kami hafalkan ini, mata saya berair. Apalagi ketika membaca arti dari ayat 1 hingga 7. Ya Allah, rasanya hamba tak akan sanggup jika Engkau tempatkan hamba di neraka-Mu. Mohon jauhkan tempat itu dari hamba, Ya Rabb... Meski untuk mencium surga pun hamba sungguh tak layak. Sangat tak layak.

Inilah arti Surah Al-Ghasyiyah yang menggetarkan hati saya:
1. Sudahkah sampai kepadamu berita tentang hari Kiamat?
2. Pada hari itu banyak wajah yang tertunduk terhina, 
3. (karena) bekerja keras lagi kepayahan,
4. mereka memasuki api yang sangat panas (neraka),
5. diberi minum dari sumber mata air yang sangat panas.
6. Tidak ada makanan bagi mereka selain dari pohon yang berduri,
7. yang tidak menggemukkan dan tidak menghilangkan lapar.
8. Pada hari itu banyak (pula) wajah yang berseri-seri,
9. merasa senang karena usahanya (sendiri),
10. (mereka) dalam surga yang tinggi,
11. disana (kamu) tidak mendengar perkataan yang tidak berguna.
12. Disana ada mata air yang mengalir.
13. Disana ada dipan-dipan yang ditinggikan,
14. dan gelas-gelas yang tersedia (di dekatnya),
15. dan bantal-bantal sandaran yang tersusun,
16. dan permadani-permadani yang terhampar.
17. Maka tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana diciptakan?
18. Dan langit, bagaimana ditinggikan?
19. Dan gunung-gunung bagaimana ditegakkan?
20. Dan bumi bagaimana dihamparkan?
21. Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah pemberi peringatan.
22. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka,
23. kecuali (jika ada) orang yang berpaling dan kafir,
24. maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang besar.
25. Sungguh, kepada Kamilah mereka kembali,
26. kemudian sesungguhnya (kewajiban) Kamilah membuat perhitungan atas mereka.


Read More

Kematian di Mata Bocah 5 Tahun

Friday, October 7, 2016

Sebelum Amay tidur tadi, kami terlibat sebuah pembicaraan serius. Saya katakan serius karena yang kami bicarakan adalah perihal kematian. Sebelum ini, sebenarnya kami juga pernah berdiskusi tentang “mati”, yang bermula setelah Amay menonton sebuah film.


Waktu itu, Amay tiba-tiba bertanya, "Mama, orang Jepang itu kalau meninggal terus dibakar ya?" setelah menyaksikan film produksi Ghibli itu. Film itu bercerita tentang dua anak korban perang, yang harus rela ditinggalkan oleh ayah dan ibunya. Ayahnya yang seorang Angkatan Laut, tak jelas bagaimana nasibnya, karena ia tak pernah kembali lagi. Sang ibu, mengalami luka bakar serius, hingga akhirnya pergi. 

Pertanyaan Amay di atas terlontar, karena dia menyaksikan bahwa para korban perang yang telah tewas, dikumpulkan dalam satu tempat, kemudian dibakar. 

Setelah mendengar pertanyaannya, saya pun menjawab, "Iya, itu namanya dikremasi."

Amay melanjutkan bertanya, "Kalau nanti Mas Amay meninggal?" dan saya pun menjawab, "Kalau orang Islam, setelah meninggal ya dikubur." (Sewaktu menjawab pertanyaannya saya terus berdo'a, agar Allah berkenan memanjangkan usia kami)

"Di dalam tanah ada apa, Ma? Cacing? Kelabang? Ular?" tanyanya lagi, dan membuat saya bergidik ngeri. Duh Nak, Mama sepertinya belum siap. Mama masih banyak dosa, yang Mama buat lewat mulut, lewat jari, lewat hati, lewat mata, telinga, ahhhh... 

~~~

Dan obrolan kami malam ini, lagi-lagi juga diawali dari sebuah film. Film ini sebenarnya sudah puluhan kali kami tonton bersama, yaitu My Neighbor Totoro.

Ketika masuk di sebuah adegan, tiba-tiba Amay bertanya,

Amay: “Ma, itu Satsuki kenapa nangis?”

Saya: “Karena Satsuki takut kalau nanti ibunya meninggal.” (Ada sebuah scene dimana Satsuki amat bersedih setelah menerima telegram dari Rumah Sakit, yang mengabarkan tentang kondisi terakhir ibunya).  “Kalau nanti Mama meninggal, Mas Amay takut nggak?” tanya saya lagi.

Amay: “Takut. Mama jangan meninggal dulu.”

Saya: “Mama ‘kan nggak tau kapan meninggalnya...”

Amay: “Nanti kalau Mas Amay sudah besar, Mas Amay juga meninggal?”

-Sampai disini, jujur saya gemetar-

Saya: “Meninggal itu nggak harus menunggu besar, Mas. Mau kecil, besar, tua, muda, terserah Allah kapan mau diambil nyawanya. Makanya, setiap hari kita harus berbuat baik, buat tabungan di akhirat. Kalau kita punya salah, nggak boleh malu untuk minta maaf, karena kalau kita sudah minta maaf, insya Allah nanti Allah juga akan memaafkan. Harus sering-sering istighfar. Harus mau berbagi, menabung (saya menggunakan kata ini untuk menyebut infaq dan sedekah), shalat dan ngaji juga nggak boleh malas, karena kita nggak tau kapan kita akan meninggal.” Bla bla bla...

-Sesungguhnya saya sedang mengingatkan diri saya sendiri-

Amay: “Lha adik tadi nggak mau minta maaf koq...(sambil mukanya kelihatan sedih, teringat waktu Aga memukulnya)”

Saya: “Adik Aga ‘kan masih kecil, makanya setiap hari harus kita ajari untuk minta maaf. Mas Amay ‘kan lihat sendiri tadi, Mama nyuruh adik salim sama Mas Amay, ya’kan? Tapi karena adik masih kecil, jadi masih suka lupa, makanya yang besar-besar kayak Mas Amay, Mama, Papa, harus mengingatkan.”

Amay: “Mama, Mas Amay juga tabungannya udah banyak sekali, di masjid. Nanti boleh buat beli apa aja Ma?”

Saya: “Kata siapa banyak? Masih kuraaang...kita perlu tabungan yang buanyaaaakkk buat di akhirat nanti. Lagian tabungannya nggak bisa diambil sekarang, nggak kayak uang Mama yang di ATM. ”

Amay: “Lha kenapa?”

Saya: “Ya itu biar jadi urusan Allah aja, kita nggak usah ingat-ingat berapa tabungan kita.”

-Duh Mas, Mama aja nggak tau, tabungan kita apa cukup buat “membeli” ampunan Allah. Jangankan berpikir buat beli istana di surga, Mama justru khawatir tabungan kita nggak cukup untuk sekedar membayar dosa- 

Amay: “Tapi Mas Amay anak sholih kan?”

Saya: “Asal Mas Amay dengerin Mama, insya Allah Mas Amay jadi anak sholih. Ingat ya, Mas Amay sama adik Aga itu tabungan Mama.”

Lalu Amay mengangguk. Semoga dia paham.





Read More

Puasa Pertama Amay

Monday, June 6, 2016

Amay dan Aga sehari jelang puasa

Hari ini adalah hari pertama di bulan Ramadhan. Amay sudah berumur 5 tahun dan sebentar lagi naik ke kelas TK B. Maka dari itu, Mama dan Papa mengajak Amay berlatih puasa.
"Nanti Mas Amay boleh buka puasa pas adzan dzuhur. Oke?" kata Mama.
"Oke!" jawab Amay, semangat.
Pagi tadi, Amay sudah makan sahur. Mama dan Papa membangunkannya, meskipun ia terlihat enggan. Tapi, alhamdulillah, meski nasi yang diambilkan Mama tak habis dimakannya, setidaknya Mas Amay punya cadangan energi untuk sehari ini. :)
Setelah sahur, Mas Amay pergi ke masjid bersama Papa untuk melaksanakan shalat Shubuh berjamaah. Kalau biasanya setelah shubuh orang-orang melanjutkan tidur, tidak demikian dengan Mas Amay. Mas Amay, Dik Aga dan Papa berjalan-jalan sebentar, menikmati udara pagi yang segar.
Seperti tak lelah, Mas Amay berlarian pulang ke rumah. Mama mengingatkan, "Jangan lari-lari lho, nanti haus. Mas Amay kan puasa, ngga boleh makan dan minum."
"Iya..." jawab Mas Amay.
Godaan pertama datang waktu Nesyer, teman mainnya di rumah, datang sambil memakan choklat yang juga merupakan kesukaan Amay.
Tapi saat itu Amay berusaha menghibur dirinya sendiri, "Aku ngga suka choki-choki koq, aku sukanya susu boboiboy." katanya pada Nesyer. Hihi...lucu. Mama tau, itu usaha Mas Amay agar tidak tergoda, ya 'kan? :D
Dan ketika adzan dzuhur berkumandang, Mas Amay segera memanggil Mama.
"Ma, sudah adzan lho..."
"Ya...Mas Amay boleh makan dan minum." kata Mama.
Amay pun segera mengambil teh manis sisa sahur tadi, yang Mama taruh di dalam kulkas. Ia pun segera menyantap pisang, melon, dan beberapa potong biskuit.
"Kalau sudah, minum putih, lalu lanjut puasa lagi sampai maghrib ya," kata Mama.
Amay menjawab, "Ya..."
Tapiii..jam baru setengah 2 ketika tiba-tiba Amay merengek, "Ma, haus..."
Dengan sedikit negosiasi akhirnya Mas Amay kembali bisa menahan keinginan untuk minum.
Mama menyuruhnya tidur agar waktu terasa cepat. Apalagi sejak sahur tadi dia belum tidur sama sekali. Tapi apa jawaban Amay? "Mas Amay ngga bisa tidur koq. Mas Amay banyak pekerjaan ni lhoo.."
Pekerjaan yang dia maksud adalah membuat kamera dari kertas lipat. Hihi..ada-ada saja. Maklum, sehari sebelumnya, Mama mengajarinya membuat kamera, dan ia bisa. Seperti orang-orang kebanyakan, yang jika baru bisa melakukan sesuatu maka cenderung mengulang-ulang, Amay pun begitu.
Alhamdulillah, yang dinanti datang juga. Adzan maghrib terdengar dari masjid Nurul Huda. Amay pun segera membatalkan puasa pertamanya. Besok puasa lagi ya, Nak... :*
Read More

Mengasah Initiative dan Empathy

Sunday, March 30, 2014

Initiative dalam Bahasa Inggris berarti: The power or ability to begin or to follow through energetically with a plan or task; enterprise and determination. Artinya kurang lebih adalah kekuatan atau kemampuan untuk memulai atau untuk menindaklanjuti sesuatu dengan penuh semangat dan tekad.

Yang perlu digarisbawahi disini, kemampuan untuk memulai itu dilandasi dengan semangat dan tekad, yang tidak akan ditemui apabila seseorang melakukannya dengan paksaan atau perintah. Jadi, inisiatif berarti tindakan yang dilakukan dengan kesadaran dan kemauan pelakunya.

Initiative, menjadi salah satu unsur penilaian di rapor anak-anak ketika saya mengajar dulu. Initiative dinilai lebih pada rasa, bukan akademik. Mengajarkan anak-anak untuk memiliki initiative sejak dini sangatlah penting. Tujuannya tentu untuk membentuk mereka agar lebih peka dan peduli dengan keadaan sekitar. Initiative memang erat kaitannya dengan kepedulian sosial. Lihat diluar sana, tingkat kepedulian manusia terhadap manusia lainnya, terhadap lingkungan, juga terhadap tumbuhan dan hewan, sudah hampir binasa.

Mengajarkan anak-anak untuk memiliki initiative, juga merupakan bagian dari mengasah Empathy. Menurut Wikipedia lagi, Empati adalah kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain.

Bayangkan jika sejak dini kemampuan berempati dan berinisiatif tidak diasah, maka yang akan timbul adalah generasi-generasi yang cuek, tidak peka terhadap keadaan sekitar, dan tidak mandiri karena selalu mengandalkan oang lain. Namun, bila semua orang tua mengajarkan anak-anaknya untuk memiliki kedua sifat mulia itu, dunia yang aman, damai, tentram, bukan hanya ada di khayalan. 

Ada sebuah pengalaman yang sampai sekarang saya ingat, yaitu ketika Amay, anak sulung saya, tiba-tiba menangis saat menonton film Free Willy. Ketika Willy si paus dilepaskan kembali ke laut, itu adalah sebuah scene yang paling mengharukan. Tidak salah apabila kita ikut terhanyut dalam alur cerita, bukan? Karena ini berarti empati kita masih berfungsi dengan baik.


Free Willy
 
Tak hanya film Free Willy yang membuat Amay menangis, film lainnya yaitu The Good Dinosaur dan The Grave of Fireflies juga berhasil membuatnya sesenggukan. Memang, dari sebuah film kita bisa belajar banyak hal. Termasuk belajar untuk berempati.

Lalu bagaimana cara lain untuk mengasah initiative dan empathy?


1. Perkenalkan Inisiatif dan Empati Melalui Perilaku
Cara terbaik untuk mengubah orang lain adalah dengan mengubah diri sendiri.
Anak akan meniru apa yang dilihatnya, bukan? Maka, cara terbaik untuk mengasah inisiatif dan empati mereka, adalah dengan memberikan contoh yang baik dalam kehidupan sehari-hari.



2. Berikan Kesempatan pada Anak untuk Melakukan Sesuatu

Memberi kesempatan pada anak untuk melakukan sesuatu, secara tidak langsung akan membuatnya belajar bertanggung jawab. Selain itu, anak-anak juga akan lebih memiliki rasa percaya diri. Terlalu sering melarang mereka, justru akan membentuk mereka menjadi pribadi yang penakut, pemalas, dan tidak percaya diri.



3. Biasakan untuk Mengungkapkan Perasaan

Katakan pada anak-anak, tidak masalah jika ingin marah, bersedih atau merasa kecewa. Namun, katakan juga bahwa emosi yang berlebihan dan berkepanjangan justru dapat mendatangkan bencana. Dari sini, kelak mereka akan belajar untuk menghargai perasaan orang lain juga.



4. Selalu Hargai Usaha Anak

Menghargai setiap usaha anak adalah suatu hal yang amat sederhana, tapi sangat penting untuk perkembangan emosionalnya. Sebaliknya, menghina atau meremehkan usaha mereka, adalah salah satu contoh kekeliruan dalam komunikasi. Efeknya tidak main-main lho, Ma!

Baca ini yaa : Pengaruh Verbal Bullying terhadap Masa Depan Korban



5. Tetap Konsisten

Yang paling sulit dari semuanya ini adalah konsisten. Iya, semua hal baik membutuhkan keistiqomahan untuk menjadikannya gaya hidup.

Semoga kita bisa istiqomah dalam memberikan teladan yang baik untuk putra-putri kita ya, Ma... Aaamiin YRA.



Read More