Mas Amay saat ini duduk di kelas 4 SD. Karena pandemi corona yang sedang melanda memaksa anak-anak untuk belajar dari rumah, secara otomatis hal ini mengembalikan peran saya sebagai "madrosatul ula" alias sekolah pertama bagi anak-anak. Nah, untuk menjadi "guru" yang baik, mau tidak mau saya harus ikut mempelajari materi yang sedang mereka pelajari.
Kebetulan, saya termasuk ibu yang senang bercerita dan berdiskusi dengan anak-anak. Saat seperti itulah, biasanya saya memasukkan materi-materi pelajaran atau nilai-nilai yang saya pegang. Seperti yang terjadi pada suatu malam, saat menganalisa artikel tentang Kakek Duha Juhaeri, Sang Penyelamat Lingkungan, obrolan kami berkembang jauh hingga ke tragedi Leuwigajah. Tragedi longsornya jutaan kubik sampah di TPA Leuwigajah, Cimahi, yang mengakibatkan tertimbunnya beberapa desa dan menewaskan setidaknya 157 orang.
TPA Leuwigajah, Source: https://geoenvironmental-disasters.springeropen.com |
Mas Amay adalah anak yang cerdas. Ia merespon cerita yang saya sampaikan dengan, "Pantesan Mama suka misahin sampah di komposter."
Ia pun langsung teringat dengan kejadian di rumah kami suatu hari, saat kompos cair yang sudah saya masukkan ke dalam botol, "meledak". Waktu itu, jumlah tanaman di rumah kami belum sebanyak sekarang, berkebalikan dengan produksi kompos cair dari komposter. Nah, karena cukup lama tidak terpakai, kompos cair itu "ngegas". Mungkin dia marah karena "dianggurin". 😂
Karena bisa menyaksikan sendiri betapa berbahayanya sampah apabila tidak dikelola dengan baik, Mas Amay jadi punya gambaran seberapa dahsyatnya tragedi Leuwigajah itu. Jika ledakan sebotol kompos cair saja bisa mengakibatkan isinya muncrat ke mana-mana, apatah lagi jika itu berasal dari gunungan sampah setinggi 50 - 70 meter yang luasnya berhektar-hektar?
Lalu, apakah tragedi Leuwigajahlah yang mendorong saya untuk mulai mengompos?
Sebenarnya bukan.
Penyebabnya empat tahun lalu, saat kami baru pindah ke rumah ini, kami langsung dihadapkan dengan tukang sampah yang kurang disiplin. Jika di rumah lama tukang sampah mengambil sampah tiap 2 hari sekali, ini hampir seminggu sampahnya ngga diambil juga, hingga menimbulkan bau yang luar biasa.
Tak tahan dengan baunya, suami saya langsung mengambil tindakan. Kebetulan, salah seorang temannya sedang giat mengompos dan membuat komposter. Kami pun memesan satu komposter padanya, dan sejak saat itu kami mulai memilah sampah anorganik dengan sampah organik.
Meski kemudian kami tahu bahwa ketidakdisiplinan tukang sampah adalah karena sakit, tetapi hal itu tidak membuat kami berhenti mengompos. Sesuatu yang baik harus tetap dilanjutkan, bukan?
Baca: Mengompos, Upaya Penerapan Hablun Minal 'Alam
Ini adalah komposter pertama kami. 2017. |
Ini adalah kompos cair yang sempat "meledak" karena tidak terpakai dalam waktu lama. |
Selain dengan mengompos, apa saja yang bisa kita lakukan untuk mengurangi sampah di bumi?
Sejujurnya, saya pun belum berbuat banyak. Namun, pelan-pelan kami mulai membiasakan untuk melakukan beberapa hal di bawah ini;
Reduce
1. Mengurangi sampah plastik
- Saat berbelanja, saya selalu berusaha untuk membawa kantong belanja sendiri.
- Membawa air minum sendiri saat bepergian.
Kedua hal di atas sudah mulai kami ajarkan pada anak-anak juga.
2. Membatasi pemakaian tisu
Biasanya, sedikit-sedikit kami memakai tisu. Mengelap kompor, pakai tisu. Makan gorengan, dilap pakai tisu. Pokoknya, tiada hari tanpa tisu.
Sekarang, kotak tisu tidak lagi saya isi, dan urusan lap-lapan, saya menggantinya dengan lap kain.
Reuse
1. Menggunakan bekas bungkus minyak, deterjen, dll, sebagai pengganti pot tanaman
2. Menampung minyak jelantah dan tak lagi membuangnya ke selokan
Biasanya, saya membuang minyak jelantah ke selokan. Ampuuun...
Namun, alhamdulillah, beberapa waktu lalu saya dihubungi oleh seseorang yang mewakili sebuah lembaga amal di Solo, yang bersedia menampung minyak jelantah untuk kemudian diolah menjadi biodiesel. Hasil dari penjualan, nantinya akan disalurkan kepada saudara-saudara kita yang membutuhkan.
Sebagai ibu-ibu yang sering memasak, tentu ini merupakan kabar gembira. Setidaknya, selain dapat beramal, saya pun tak lagi dihantui perasaan "berdosa" karena telah membuang jelantah di selokan.
Recycle
Terus terang, untuk poin ini, kami baru mampu mengubah sampah organik menjadi kompos. Untuk sampah anorganik, kami masih bergantung pada pak tukang sampah.
Namun, suatu hari saya menemukan akun Waste4Change di Instagram. Waste4Change merupakan sebuah perusahaan Waste Management Indonesia yang memiliki misi mengurangi jumlah sampah yang berakhir di TPA. Didirikan oleh Mohamad Bijaksana Junerosano, Waste4Change hadir serupa angin segar yang membawa sebuah harapan. Waste4Change memberikan pelayanan Personal Waste Management, yaitu layanan pengangkutan sampah anorganik, langsung dari rumah klien.
Memang, saat ini Waste4Change belum menerima sampah organik, tetapi Waste4Change dapat membantu menyediakan peralatan dan perlengkapan pengomposan mandiri di rumah. Waste4Change juga mendukung teman-teman yang ingin belajar mengenai pengolahan sampah organik dengan Black Soldier Fly (BSF) serta teknis budidayanya.
Sebagai informasi, BSF adalah jenis lalat yang berguna untuk mengurangi dampak negatif dari penumpukan sampah organik di alam. Larva BSF pun sangat baik untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak.
Tak hanya melayani individu, Waste4Change juga melayani perusahaan, yang mana kita tahu, banyak sekali perusahaan-perusahaan yang berpotensi menghasilkan sampah anorganik. Entah dari proses produksinya yang menghasilkan residu, produk gagal, dan lain sebagainya, ataukah dari proses distribusi yang menyebabkan produk rusak dan kadaluarsa, atau bisa juga pasca konsumsi, yang menghasilkan kemasan kosong.
Saat ini sedikitnya ada 12 perusahaan yang bekerja sama dengan Waste4Change untuk memenuhi Extended Producer Responsibility Indonesia. Di antara 12 klien tersebut, mungkin teman-teman adalah konsumennya, misalnya; Wardah, Young Living, The Body Shop, juga Gojek.
Alhamdulillah. Semoga semakin banyak perusahaan yang bertanggung jawab dengan sampahnya.
Mengapa masalah sampah perlu dipikirkan serius?
Selama ini, kita hanya diajarkan untuk membuang sampah di tempat sampah. Selesai. Seolah, permasalahan sampah berhenti di situ. Padahal, sampah-sampah dari tempat sampah di rumah kita, akan berakhir di TPA (Tempat Pembuangan Akhir), di mana di sana, sampah organik dan anorganik bercampur menjadi satu.
Sampah organik yang dimasukkan ke dalam plastik, lama-kelamaan akan menghasilkan gas metana, yang berpotensi menimbulkan ledakan, seperti yang terjadi di TPA Leuwigajah 16 tahun silam.
Adalah tanggung jawab kita untuk menyebarkan informasi ini kepada masyarakat luas, termasuk kepada anak-anak kita. Sudah saatnya kita mengampanyekan bahwa "Sampah Kita, Tanggung Jawab Kita".
Jika kita tidak segera mengambil peran dalam persoalan sampah, kira-kira apa yang akan terjadi di tahun-tahun mendatang? Apakah kita siap, jika kelak bumi tak menyisakan ruang yang nyaman untuk dijadikan tempat tinggal?
Ditulis dengan Cinta, Mama